Rabu, 03 Juli 2013

Analisis Makna Kontekstual Tembang ‘Lingsir Wengi’ Versi Campursari

Abstrak
Tembang dalam kajian ini diambil dari videoklip campursari yang dinyanyikan oleh Nurhana. Tembang dalam bahasa Jawa merupakan puncak ragam bahasa tulis yang dapat dibaca dengan dua cara yaitu berusaha memahami isi teks dan lebih bermaksud menikmati serta menghayati totalitas teks. Tembang Jawa dalam hal ini yang dimaksud adalah tembang bergenre campursari. Tembang ini sangat terkenal dimasanya sampai sekarang. Penelitian ini mengkaji tembang dengan pendekatan kontekstual analisis makna, yaitu tinjauan makna berdasrkan konteks yang melingkupi. Hasil penelitian ini menunujukan bahwa lirik dalam tembang lebih menggunakan bahasa denotatif daripada konotatif. Selain itu, dalam kajian aspek leksikal ditemukan unsur pembangun bahasa rinengga yaitu reduplikasi, interjeksi, sinkop, dan afersis. Dari penemuan tersebut mengindikasikan bahwa konteks yang melingkupi tembang merupakan wilayah tuturan sejawat.


Kata Kunci: Kontekstual, Lingsir Wengi, Leksikal, Gramatikal


A.    Pendahuluan
Tembang dalam bahasa Jawa merupakan puncak ragam bahasa tulis yang dapat dibaca dengan dua cara yaitu berusaha memahami isi teks dan lebih bermaksud menikmati serta menghayati totalitas teks, dalam Kadarisman (2010:122). Tembang berasal dari kata dalam Bahasa Jawa. Tembang dalam Bahasa Indonesia menurut (KBBI v1.3) menyatakan bahwa tembang adalah syair yang diberi lagu (untuk dinyanyikan,  nyanyian, puisi). Dalam tradisi Jawapun ada beberapa tembang yang diantaranya merupakan pemaknaan kehidupan manusia yaitu tembang macapat (maca papat-papat) atau ada pula yang menamainya (maca sipat), sebab memang pada umumnya tembang ini berisikan sifat-sifat manusia dalam proses kehidupan. Selain itu ada pula tembang yang berasal dari campuran beberapa genre musik yaitu tembang campursari yang pertama dikenalkan di Solo, Jawa Tengah dan sebagai warisan asli budaya Indonesia khususnya Jawa.
Objek kajian dalam penelitian ini berupa tembang Jawa yang populer bukan hanya pada masanya, namun juga pada masa sekarang dan tergolong dalam tembang campursari (campuran dari beberapa genre musik) yang berjudul “Lingsir Wengi”. Namun karena sebuah kesalahan pemaknaan sehingga tembang yang maknanya romantis ini sering disangkutpautkan dengan kejadian mistis dan ruh halus. Padahal ada tembang lain yang berjudul sama, namun memang isi dan pembawaanya berbeda.
Hal inilah yang menjadikan daya tarik bagi peneliti untuk mengungkap makna dibalik tembang “Lingsir Wengi” versi campursari.
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah. Bagaimanakah makna leksikal, gramatikal, dan kontekstual tembang “Lingsir Wengi” versi campursari, serta apakah benar makna dari tembang tersebut mengarah ke hal-hal mistis yang sesuai dengan anggapan masyarakat.

B.     Objek Kajian Penelitian
Tembang
Glos
Baris
Lingsir Wengi
Bakda tengah malam
Baris pertama
Sepi durung bisa nendra
Sepi belum bisa tidur
Baris kedua
Kagodha mring wewayah kang ngreridhu ati
Tergoda saat-saat yang menggoda hati
Baris ketiga
Kawitane mung sembrana njur kulina
Awalnya hanya bergurau tapi jadi kenyataan
Baris keempat
Ra ngira yen bakal nuwuhke tresna
Tak kusangka bila akhirnya menumbuhkan cinta
Baris kelima
Nanging duh tibane
Tapi pada akhirnya
Baris keenam
Aku dhewe kang nemahi
Aku sendiri yang mengalami
Baris ketujuh
Nandhang branta
Mengalami kerinduan yang memuncak
Baris kedelapan
Kadung lara sambat-sambat sapa
Terlanjur sakit mengeluh pada siapa
Baris kesembilan
Rina wengi sing tak puji aja lali
Siang malam yang ku doakan jangan lupa
Baris kesepuluh
Janjine muga bisa tak ugemi
Janjinya semoga bisa kupercaya
Baris kesebelas

Objek kajian diiatas merupakan data yang diambil dari videoklip campursari berjudul “Lingsir Wengi” dan dinyanyikan oleh Nurhana. Selain itu, lirik yang terdapat dalam videoklip tersebut juga sesuai dengan lirik lagu “Lingsir Wengi” yang terdapat dalam sebuah situs blog yang berjudul Tivativy dan mengangkat permasalahan bahwa tembang “Lingsir Wengi” itu bertemakan cinta. Tembang ini selain dinyanyikan oleh Nurhana, juga pernah dibawakan oleh Didi Kempot, seorang penyanyi tembang campursari ternama. Berdasarkan perkiraan tembang ini diciptakan oleh Sukap Jiman, seorang pencipta tembang campursari asal Solo yang juga bukan hanya pencipta tembang “Lingsir Wengi”, namun masih banyak lagi tembang yang pernah diciptakan oleh beliau misalnya “Kempling”, “Teh Poci”, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan beberapa album tembang campursari asli Jawa Tengah yang selalu menyertakan penyanyi dan pencipta lagu diawal videoklip.

C.    Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi.
a.       Makna leksikal adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca dalam kamus bahasa tertentu (Pateda, 2010: 119). “Makna leksikal ini mempunyai dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya (Harimurti, 1982: 103 dalam Pateda, 2010:119). Verhaar (1983:9 dalam Pateda, 2010:119) berkata, “...semantik leksikal tidak perlu kita uraikan banyak disini; sebuah kamus merupakan contoh yang tepat dari semantik leksikal; makna tiap-tiap kata diuraikan di situ”. Memang, makna leksikal sebuah kata dapat dilihat di dalam kamus.” Makna leksikal suatu kata terdapat dalam kata yang berdiri sendiri. Dikatakan berdiri sendiri sebab makna sebuah kata dapat berubah apabila kata tersebut telah berada di dalam kalimat. Dengan demikian ada kata-kata yang makna leksikalnya dapat dipahami jika kata-kata itu sudah dihubungkan dengan kata-kata yang lain. Kata-kata seperti ini termasuk kelompok kata tugas atau partikel, misalnya kata dan, ini, ke, yang (Pateda, 2010: 119).

b.      Makna gramatikal, atau makna fungsional, atau makna struktural, atau makna internal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya kata dalam kalimat (Pateda, 2010: 103). Menurut Chaer (2009: 62-63) makna gramatikal itu bermacam-macam. Setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal  tertentu untuk menyatakan makna-makna, atau nuansa  makna gramatikal itu. Proses komposisi atau proses penggabungan dalam bahasa indonesia melahirkan makna gramatikal. Makna gramatikal dapat diketahui tanpa mengenal makna leksikal unsur-unsurnya.

c.       Makna  kontekstual atau makna situasional muncul sebagai akibat hubungan dari ujaran dan konteks. Sudah diketahui bahwa konteks itu terwujud dalam banyak hal. Konteks yang dimaksud disini yakni; (i) konteks orangan, termasuk hal yang berkaitan dengan jenis kelamin, kedudukan pembicara, usia pembicara, latar belakang sosial ekonomi pembicara. (ii) konteks situasi, misalnya situasi aman dan situasi ribut. (iii) konteks tujuan, misalnya meminta mengharapkan sesuatu... (Pateda, 2010: 116). Istilah kontekstual berasal dari kata dasar konteks. Dalam Kridalaksana (2008:  134) mengatakan konteks adalah pragmatic. 1) aspek-aspek lingkungan fisik atau social  yang kait-mengait dengan ujaran tertentu; 2) pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendenganar sehingga pendengar paham apa yang dimaksud pembicara.


D.    Analisis dan Hasil Temuan
a.       Kandungan makna leksikal pada tembang “Lingsir Wengi”
No.
Kata dalam tembang
Letak dalam tembang
Kategori tingkat tutur
Makna leksikal
Makna Gramatikal
Makna Kontekstual
Keterangan
1.
Lingsir









Baris pertama
KN
Wis ngglewang; nisih ut ora ana tengah bener
‘sudah melenceng; atau tidak pada tengah-tengah’
Makna gramatikal dari lingsir adalah berfungsi sebagai menerangkan kata wengi pada frasa lingsir wengi sekaligus mempersempit penggunaan kata wengi yang pada makna leksikalnya ‘mulai sore’ menjadi ‘setelah tengah malam’. Hal ini didukung oleh bentukan frasa bahasa Jawa sendiri yang artinya ‘bakda tengah wengi’.
Bakdha ‘setelah’

2.
Wengi
N
Wayah wiwit surup tumeka jebule srengenge
‘mulai sore sampai munculnya matahari’
Makna gramatikal dari wengi dalam teks tembang merupakan objek yang diterangkan, mengingat kata tersebut adalah pecahan dari bentuk frasa lingsir wengi. Makna dari wengi sendiri mengalamai penyempitan dari makna leksikalnya menjadi waktu malam yang dimulai dari tengah malam antara pukul 12 malam sampai 1 malam.
Tengah wengi ‘tengah malam’
Kata wengi tersebut jika dalam konteks jawa merupakan waktu puspa tajem yaitu pukul 01-04, menjelang subuh.
3.
Sepi





Baris Kedua







Baris kedua
N
Ora rame; suwung
‘tidak ramai; sunyi’
Makna gramatikal dari sepi adalah lebih mengalami penyempitan lagi yaitu kesepian atau dalam hal ini seseorang yang tidak mempunyai teman. Sedangkan dalam tembang adalah teman untuk malam hari.
Kesepian

4.
Durung
N
Isih kurang karo mangsane kang dituju
‘masih dalam keadaan tidak’
Masih dalam keadaan tidak
Durung

5.
Bisa
N
Kuwagang nindakake
‘dapat melakukan sesuatu’
Dapat melakukan sesuatu.
Bisa, Dapat

6.
Nendra
Kl
Turu
‘tidur; hendak mengistirahatkan badan dan kesadaranya.
Tidur.
Tidur
Nyenyak
Ket. jika mengarah ke kontekstual maka umumnya orang yang sedang merindu adalah dia berusaha tidur tapi tidak bisa tidur (tidur secara benar)

7.
(Ka)godha








Baris ketiga




















Baris ketiga
KN
Apa-apa sing njalari dosa ut tumindak ora bener
‘apa-apa yang menyebabkan dosa atau berbuat tidak benar’
Penambahan afiks {ka-} pada kata godha mempunyai makna sesuatu yang menyebabkan. Namun makna gramatikalnya kagodha sendiri dalam tembang adalah njalari wong ora tenang ‘membuat orang merasa tidak tenang’
Mengalami Godaan (tergoda)

8.
Mring
Kl
Marang
‘untuk’ ‘kata depan untuk menyatakan bagi’
Marang jika diambil makna gramatikalnya adalah bermakna oleh, atau kata penghubung untuk menandai pelaku.
Oleh sesuatu
Terjadi perubahan bentuk kata pada leksem marang menjadi mring yang tidak menimbulkan makna baru namun menimbulkan keindahan dalam kalimat. Sebab dalam jenisnya kata mring merupakan klasik, atau kawi.

Wewayah
N
Wektu
‘waktu’
Makna gramatikal dari wewayah adalah wayah-wayah atau bersifat jamak. Karena terdapat reduplikasi akar sebagian.
Wayah-wayah (bentuk jamak)
Tejadi reduplikasi tunggal pada kata wayah.
9.
Kang
N
Sing
‘yang’ kata hubung
‘Yang’ sebagai kata penghubung
Yang

10.
Ngreridhu

Supaya nglakoni dosa ut tumindak ora bener
‘supaya melakukan dosa atau berbuat tidak baik’
Makna gramatikal dari kata ngreridhu adalah anggodha sing njalari ora tenang ‘menggoda yang menyebabkan tidak bisa tenang’
Panggodha
‘penggoda’

11.
Ati
N
1. Peranganing jeroan wong ut kewan rupane abang, kanggo njupuk sarine pangan saka getih lan ngasilake banyu rempelu
’organ badan yang berwarna merah, untuk mengambil sari makanan dari darah dan menghasilkan air empedu’
2. jantung
‘jantung’
3. rasa rumangsa
‘apa yang terasa dalam batin’
Makna gramatikal dari ati adalah rasa yang ada dalam batin. Berhubungan dengan perasaan seseorang.
Perasaan dalam hati

12.
Kawitane



Baris keempat

Baris keempat




KN
Sing dhisek dhewe; asal-asale
‘yang lebih dulu; asal-muasalnya’
Penambahan konfiks {k-ane} menyebabkan kata awit ‘mula’ yang bersifat diterangkan menjadi kawitane ‘mulanya’ yang bersifat menerangkan.
Awalnya

13.
Mung
N
Ora ana liane
‘tidak ada lainya’
Hanya atau Cuma
Hanya atau cuma

14.
Sembrana
KN
Kurang tumemen
‘kurang sungguh-sungguh’
Kata sembrana memiliki makna gramatikal sembarangan serta tidak memperhitungkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sembarangan

15.
Njur
N
1.terusan wae tanpa leren
‘terus saja tanpa berhenti’
2.mlaku terus
‘berjalan terus’
Menyatakan hasil dari sebuah proses
Menyatakan perilaku yang terus menerus kemudian berhenti pada hasil
Njur merupakan perubahan bentuk dari kata banjur yang mengalami peluluhan ba- namun memiliki makna yang sama.
16.
Kulina
KN
wis wanuh banget
‘sudah akrab sekali’
Sudah akrab sekali
Akrab sekali

17.
ra








Baris kelima












Baris kelima

N
Kosokbaline iya
‘lawan kata iya’
Lawan kata dari iya
Lawan kata dari iya
ra- merupakan perubahan bentuk dari kata ora yang mengalami peluluhan o- namun memilika makna yang saman.
18.
Ngira
N
Nyana; duga
‘menyangka; memperkirakan’
Penambahan afiks {N-} pada kata kira menyebabkan perubahan makna menjadi seseorang yang melakukan kegiatan memperkirakan.
Mem-perkirakan

19.
Yen
KN
tembung panggandheng
‘kata penghubung’
kata penghubung untuk menandai syarat
Kata penghubung untuk menandai syarat

20.
Bakal
N
1.apa-apa sing arep dianggo dandangan
‘yang akan dijadikan sesuatu’
2.calon
‘orang yang akan menjadi’
Bakal mengalami perubahan makna gramatikal peran dari pasif menjadi aktif. Dalam makna leksikal bakal adalah ‘sesuatu yang akan dijadikan’ sedangkan dalam gramatikal bermakna ‘menjadikan’
menjadikan

21.
Nuwuhke
KN
1.N-tukul-ke
‘menumbuhkan’
2.Nganakake
‘mengembangbiakan’
Konfiks {N-ke} pada kata tuwuh ‘tumbuh’ menimbulkan makna baru yaitu ‘menumbuhkan’. Tapi bukan makna menumbuhkan/ berkembangbiak, tapi ‘menimbulkan perasaan baru’ ‘membuat jadi’
menimbulkan

22.
Tresna
KN
1.asih, mulunging ati marang liyan (tanpa hawa nepsu)
‘kasih sayang; memberikan hati kepada orang lain (tanpa hawa nafsu)’
2.seneng marang
‘senang dengan’
Makna gramatikal kata tresna pada tembang merupakan bentuk kasih sayang; memberikan hati kepada orang lain.
Kasih sayang dengan cara memberikan perasaanya kepada orang lain

23.
Nanging








Baris keenam









Baris ketujuh
KN
Tembung pangiket ut panggandeng sing ngomongne kosok balen
‘kata penghubung antarkalimat yang menyatakan pertentangan’
kata penghubung antarkalimat yang menyatakan pertentangan antara keromantisan dengan kesedihan jika dikaji dalam tembang.
kata penghubung antarkalimat yang menyatakan pertentangan

24.
Duh
-
-
Makna gramatikal duh adalah ungkapan kesedihan yang tidak diduga-duga. Duh merujuk pada tibane yang menjadi titik tolak  nuansa keromantisan pada tembang berubah menjadi kesedihan.
Menyatakan perasaan sedih dan hal yang tidak diduga-duga.
Merupakan bentuk interjeksi yang menyatakan kesediahan.
25.
Tibane
N
Tumekane ing pungkasan
‘setelah sampai di akhir’
Dari makna leksikal tiba mendapat sufiks {-ne} sangat mempengaruhi perubahan makna. Tiba yang awalnya adalah ‘jatuh dari krtinggian’ menjadi ‘setelah sampai di akhir’ berhubungan dengan akhiran.
Sialnya
Ket. Karena pada makna leksikal tiba berarti jatuh dari ketinggian, maka itu pasti akan terasa sakit. Ditambah lagi sebelum kata tibane terdapat interjeksi yang menyatakan kesedihan, kesakitan,

26.
Aku
N
Tembung sesulih utama purusa
‘kata ganti orang pertama’
Kata ganti orang pertama bermakna tunggal
Kata ganti orang pertama bermakna tunggal

27.
Kang
N
Sing
‘yang’ ‘kata untuk menyatakan bahwa kata atau kalimat yang berikut diutamakan atau dibedakan dari yang lain’
Berfungsi sebagai pengutama atau pembeda kalimat berikutnya.
Yang; atau menyatakan bahwa kalimat berikut diutamakan atau dibedakan dari yang lain.

28.
Nemahi
KN
Ngalami
‘mengalami’
Mengalami sesuatu.
Mengalami sesuatu

29.
Nandhang


Baris kedelapan
KN
Nanggung
‘menanggung’
Menanggung
Menanggung
Kata ini tidak ditemukan dikamus dan hanya dari internet.
30.
branta
KN
Kasmaran sing wis muntup-muntup
‘kasmaran yang memuncak’
Kasmaran atau kerinduan yang memuncak
Kerinduan yang memuncak
Kata branta tidak ada dikamus. Pemaknaan berdasarkan keterangan lisan dari dosen.
31.
Kadung
Baris kesembilan




Baris kesembilan
KN
1.ora tekan
‘tidak sampai’
2.durung lega
‘belum lega’
3.luput tujune
‘hilang tujuanya’
Makna gramatikal pada bentuk kadung adalah terlanjur. Karena setelah kata kadung disusul oleh kata lara yang bersifat menerangkan.
terlanjur

32.
Lara
Kl
Susah; sedih
‘susah;sedih’
Nandhang ora kepenak ing badane
‘mengalami tidak enak badan’
Makna gramatikal lara dalam tembang adalah susah atau sedih hati.
Susah atau bersedih hati

33.
Sambat-(sambat)
KN
Njaluk tulung
‘minta tolong’
Minta tolong
Sindiran terhadap seseorang yang diharap-harapkanya.

34.
Sapa
N
Tembung pitakon sing nakonake jenenge uwong
‘kata tanya yang menanyakan namanya seseorang’
kata tanya yang menanyakan namanya seseorang
kata tanya yang menanyakan namanya seseorang

35.
Rina





Baris kesepuluh











Baris kesepuluh
N
Wayah awan
‘waktu siang’
Rina wengi merupakan frasa yang mempunyai makna siang malam atau waktu satu hari penuh (24 jam)
Menggambarkan proses waktu yang dihabiskan oleh penyair sangat lama dan tidak bosanya menunggu yang diharap-harapkan.

36.
Wengi
N
Wayah wiwit surup tumeko jebule srengenge
‘mulai sore sampai munculnya matahari’
Rina wengi merupakan frasa yang mempunyai makna siang malam atau waktu satu hari penuh (24 jam)
Menggambarkan proses waktu yang dihabiskan oleh penyair sangat lama dan tidak bosanya menunggu yang diharap-harapkan.

37.
Sing
KN
Sangka; saka
‘dari’ ‘kata depan yang menyatakan tempat permulaan’
Yang, atau menunjuk pada sesuatu.
Yang, atau menunjuk pada sesuatu.

38.
Tak
N
Dak;aku
‘penunjuk pelaku, kepunyaan aku’
Melakukan sesuatu (berharap-harap kepada seseorang).
Melakukan sesuatu (berharap-harap kepada seseorang).

39.
Puji
KN
1.donga; pandonga
‘do’a’
2.sembahyangan
‘do’a kepada Tuhan’
3.pangarep-arep supaya
‘berharap agar’
Puji di dalam tembang berarti berharap-harap kepada seseorang.
berharap-harap kepada seseorang.

40.
Ojo
KN
Ngojoni;nglarang
‘bentuk kata larangan’
Berfungsi sebagai larangan
Larangan

41.
Lali
N
Ora kelingan
‘lupa/tidak dalam ingatan’
Melupakan seseorang yang merindukanya
Melupakan

42.
Janjine





Baris kesebelas
KN
Saguhe;kasaguhane
‘kesanggupan’
Kesanggupanya
Kesanggupan-nya

42.
Muga
N
Tembung kanggo nerangake pamuji supaya kelakon mangkono
‘moga/kata yang digunakan menerangkan do’a agar terjadi seperti keinginan’
Moga/kata yang digunakan menerangkan do’a agar terjadi seperti keinginan.
Moga/kata yang digunakan menerangkan do’a agar terjadi seperti keinginan.

43.
Bisa
N
Kuwagang nindakake
‘dapat melakukan sesuatu’
Dapat melakukan sesuatu.
Bisa, dapat

44.
Ugemi
KN
Nuhoni tumrap janji
‘menjaga janji dengan teguh hati’
Ugemi dari kata ugem yang mendapat sufiks {-i}. dari makna awalnya teguh hatinya berubah menjadi meneguhkan hati. Karena berusaha menjaga janji.
Meneguhkan hati karena janji


Ket.     Makna kontekstual berwarna merah merupakan konotasi.
KN: Krama Ngoko
            N: Ngoko
            Kl: Klasik, kawi, basa rinengga

Keterangan tambahan:
Berikut beberapa bahasan mengenai data keterangan yang terdapat dalam tabel.
1.      Reduplikasi
Terdapat beberapa fenomena reduplikasi yang ada pada teks tembang “Lingsir Wengi”, antara lain adalah wewayah dan sambat sambat. Jika digolongkan berdasarkan jenis reduplikasi, kata wewayah termasuk ke dalam jenis reduplikasi morfologis pengulangan akar secara sebagian yang maknanya lebih dari satu atau jamak. Contohnya seperti leluhur, tetangga, dan lelaki.
Jika ditelisik ke dalam klausa pembentuknya yang berbunyi kagoda mring wewayah kang ngreridu ati, arti dari kata wewayah memang jamak dan berasal dari pengulangan utuh wayah-wayah. Lalu mengapa penyair menggunakan kata wewayah? Pertama, mungkin penyair ingin menunjukan bahwa wayah ‘waktu’ atau ‘kejadian’ yang dimaksudkan bukan hanya satu kali. Kemungkinan sering sehingga menimbulkan rasa kang ngreridu ati yang artinya ‘yang menggoda hati’. Makna kejadian ini (wayah) jika dilihat dari klausa pembentuknya adalah penyebab munculnya kata kulina pada baris ketiga teks tembang. Sehingga terjadi timbal-balik yang saling mendukung kemunculan makna sebenarya dari teks tembang.
Kedua, penggunaan kata wewayah juga dapat dikaitkan dengan aspek struktural puitika yang dipengaruhi oleh ragam bahasa endah. Jika kata wewayah diganti dengan wayah-wayah, maka aspek keindahan yang juga di dalamnya terdapat makna implisit akan berkurang. Selain itu, seperti yang dikatakan Arifin dalam Wedhawati bahwasanya dialek Jawa sering menggunakan reduplikasi parsial (bagian dari keseluruhan), hal itu dapat dilihat pada kata lelungan yang bermakna bepergian ‘tidak sekali pergi’ dan sekali lagi bersifat jamak.
Selanjutnya kata sambat sambat juga merupakan sebuah hasil dari reduplikasi yang lebih mengkhususkan reduplikasi sintaksis, dimana pengulangan terhadap sebuah dasar tetapi menghasilkan satuan bahasa yang statusnya lebih tinggi daripada sebuh kata, Chaer (2008:179). Namun setelah ditelisik lebih jauh, kata sambat sambat yang bermakna ‘mengeluh’ tidak menciptakan makna baru tapi hanya sebuah ‘ulangan kata’ bukan ‘kata ulang’. Ketika diterapkan dalam klausa teks tembangpun, kata sambat sambat tidak menimbulkan makna baru. Kadung lara sambat sambat sopo dengan kadung lara sambat sopo jika dianalisis berdasarkan makna tidak ada perubahan makna, tapi itu adalah fenomena reduplikasi yang kemungkinan digunakan penyair untuk menekankan penggunaan makna kata tersebut agar lebih kuat. Jika memang seperti itu, maka penggunaan kata sambat sambat sopo adalah suatu bentuk sindiran terhadap seseorang, bisa jadi itu adalah orang yang membuatnya nandhang branta. Maka bentuk sambat sambat sopo merupakan sindiran implisit yang lebih ditekankan agar maknanya kuat dan pesan makna tersebut sampai pada orang yang membuat nandhang branta penyair.

2.      Interjeksi
Kemudian, terdapat satu interjeksi yang terdapat di teks tembang, yaitu duh. Dalam penggunaanya terlihat sedikit menyimpang, karena terletak di tengah klausa. Jika dalam penggolonganya interjeksi tersebut merupakan interjeksi primer sebab termasuk berpola K(V)K, Arifin dalam Wedhawati. Interjeksi merupakan bentuk ekspresi diri dan penanda bahwa seseorang telah menderita sesuatu. Hal itu terlihat pada interjeksi duh yang diluapkan oleh penyair. Namun interjeksi tersebut terletak di tengah klausa, karena pada umumnya interjeksi terletak di depan seperti pada bentuk.
1)      Aduh, mataku terkena debu
2)      Ah, itu terlalu mudah
Pada dasarnya struktur dari interjeksi adalah seperti Aduh, mataku terkena debu. Aduh adalah interjeksi, kemudian mataku adalah subjek, terkena predikat, debu adalah objek. Maka dapat disimpulkan bahwa setelah interjeksi adalah subjek. Tapi fenomena yang terjadi di dalam teks tembang adalah interjeksi yang ada di tengah klausa.
Kata duh dalam nanging duh tibane merupakan interjeksi primer yang lebih menekankan pada kata setelahnya yaitu tibane ‘ternyata’. Disini mungkin penyair ingin memberikan penekanan pada tibane ‘ternyata’ atau kenyataan yang sebenarnya terjadi di dalam tembang adalah kesedihan penyair akibat sembrara njur kulina. Sesuatu yang tidak disengaja yang kemudian menjadikan itu suatu kebiasaan. Kata tibane memang menjadi titik balik dari keromantisan dalam tembang menjadi kesedihan yang mendalam. Hal itulah yang menyebabkan penyair menekankan atau memberikan interjeksi pada kata tibane dan hal tersebut mempengaruhi aspek kebahasaan yang terdapat dalam tembang.        
3.      Denotatif dan Konotatif
Berdasarkan pemaparan tabel analisis makna diatas dan juga definisi dari makna konotatif  menurut pateda, (2010:112) bahwa makna konotasi muncul akibat asosiasi pemakai bahasa terhadap kata yang didengar atau kata yang dibaca. Maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa terdapat sembilan kata yang berkonotasi, dapat dilihat pada tabel berikut.
Bunyi kata dalam tembang
Baris
Makna leksikal
Makna kontekstual
Lingsir
Pertama
Wis ngglewang; nisih ut ora ana tengah bener
‘sudah melenceng; atau tidak pada tengah-tengah’
Ba’da atau setelah
Wengi
Pertama
Wayah wiwit surup tumeka jebule srengenge
‘mulai sore sampai munculnya matahari’
Tengah malam
Sepi
Kedua
Ora rame; suwung
‘tidak ramai; sunyi’
Kesepian
Nendra
Kedua
Turu
‘tidur’
Tidur
Nyenyak
Ket. jika mengarah ke kontekstual maka umumnya orang yang sedang merindu adalah dia berusaha tidur tapi tidak bisa tidur (tidur secara benar)
Ngreridhu
Ketiga
Supaya nglakoni dosa ut tumindak ora bener
‘supaya melakukan dosa atau berbuat tidak baik’
Panggodha
‘penggoda’
Nuwuhke
Kelima
1.N-tukul-ke
‘menumbuhkan’
2.Nganakake
‘mengembangbiakan’
Menimbulkan ‘membuat jadi’
Tibane
Keenam
Tumekane ing pungkasan
‘setelah sampai di akhir’
Sialnya
Ket. Karena pada makna leksikal tiba berarti jatuh dari ketinggian, maka itu pasti akan terasa sakit. Ditambah lagi sebelum kata tibane terdapat interjeksi yang menyatakan kesedihan, kesakitan.
Rina
Kesepuluh
Wayah awan
‘waktu siang’
Menggambarkan proses waktu yang dihabiskan oleh penyair sangat lama dan tidak bosanya menunggu yang diharap-harapkan.
Wengi
Kesepuluh
Wayah wiwit surup tumeka jebule srengenge
‘mulai sore sampai munculnya matahari’
Menggambarkan proses waktu yang dihabiskan oleh penyair sangat lama dan tidak bosanya menunggu yang diharap-harapkan.
Sambat-(sambat)
Kesembilan
Njaluk tulung
‘minta tolong’
Sindiran terhadap seseorang yang diharap-harapkanya.

Perbandingan antara kata yang berkonotasi dengan kata denotasi adalah 1: 4, sehingga dapat disimpulkan bahwa tembang “Lingsir Wengi” lebih menggunakan makna lugas atau denotatif daripada makna konotatif. Selain itu penggunaan tingkat bahasa lebih dominan penggunaan tingkat bahasa ngoko. Hal itu berarti jarak kedudukan antara pembicara/penembang dengan orang yang dituju tidak berbeda jauh atau mungkin sama.
    

4.      Gejala Bahasa
Terdapat juga gejala bahasa seperti penambahan (aferesis, sinkop, apokop) serta penghilangan (protesis, efentesis, paragog) fonem pada suatu kata yang dapat dilihat dalam tabel berikut.
Bunyi kata dalam tembang
Baris
Bentuk asal
Termasuk kedalam gejala bahasa
Keterangan

mring

Ketiga

marang

sinkop
Terjadi perubahan bentuk kata pada leksem marang menjadi mring yang tidak menimbulkan makna baru namun menimbulkan keindahan dalam pengucapanya. Perubahan bentuk tersebut tergolong penghilangan fonem ditengah kata.
njur
Keempat
banjur
aferesis
njur merupakan perubahan bentuk dari kata banjur yang mengalami penghilangan bentuk ba- sebagai awal, namun memiliki makna yang sama.
ra
Kelima
ora
aferesis
ra- merupakan perubahan bentuk dari kata ora yang mengalami penghilangan o- sebagai awal, namun memiliki makna yang sama.

Berdasarkan tabel diatas terdapat satu sinkop (penghilangan fonem pada tengah kata) dan dua aferesis (penghilangan fonem pada awal kata) dalam lirik tembang “Lingsir Wengi”. Fenomena ini memang tidak sedikit banyak mepengaruhi makna, namun dapat berpengaruh pada tingkatan tutur. Maksudnya, jika banyak kata atau bentuk asal yang sengaja dihilangkan fonem awal, tengah, maupun akhir berarti tuturan yang diproduksi bukan untuk seseorang yang dihormati, atau merasa dituakan. Tetapi, adalah orang yang mungkin sejawat sehingga petutur bebas dalam mengkreasikan bahasanya.
E.     Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai tembang “Lingsir Wengi” berdasarkan analisis kontekstual serta hasil temuan.
1.      Lirik tembang “Lingsir Wengi” tidak membahas hal-hal mistis, melainkan membahas tentang kerinduan seseorang kepada kekasih yang telah memuncak.
2.      Penggunaan bahasa denotatif dalam lirik tembang “Lingsir Wengi” lebih dominan daripada bahasa konotatif.
3.      Pada lirik tembang “Lingsir Wengi” terdapat beberapa reduplikasi dan interjeksi.
4.      Terdapat gejala bahasa yaitu penambahan dan penghilangan fonem pada lirik tembang “Lingsir Wengi”.
Hal ini telah membuktikan kepada masyarakat luas bahwa lirik tembang “Lingsir Wengi” bermakna kerinduan kepada seorang kekasih dan bukan mengarah ke hal-hal mistis.

ads

Ditulis Oleh : Unknown Hari: Rabu, Juli 03, 2013 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar