Abstrak
Tembang dalam
kajian ini diambil dari videoklip campursari
yang dinyanyikan oleh Nurhana. Tembang dalam bahasa Jawa merupakan puncak ragam bahasa tulis
yang dapat dibaca dengan dua cara yaitu berusaha memahami isi teks dan lebih
bermaksud menikmati serta menghayati totalitas teks. Tembang Jawa dalam hal ini
yang dimaksud adalah tembang bergenre campursari.
Tembang ini sangat terkenal dimasanya sampai sekarang. Penelitian ini mengkaji
tembang dengan pendekatan kontekstual analisis makna, yaitu tinjauan makna
berdasrkan konteks yang melingkupi. Hasil penelitian ini menunujukan bahwa
lirik dalam tembang lebih menggunakan bahasa denotatif daripada konotatif.
Selain itu, dalam kajian aspek leksikal ditemukan unsur pembangun bahasa rinengga yaitu reduplikasi, interjeksi,
sinkop, dan afersis. Dari penemuan tersebut mengindikasikan bahwa konteks yang
melingkupi tembang merupakan wilayah tuturan sejawat.
Kata Kunci: Kontekstual, Lingsir
Wengi, Leksikal, Gramatikal
A.
Pendahuluan
Tembang
dalam bahasa Jawa merupakan puncak ragam bahasa tulis yang dapat dibaca dengan
dua cara yaitu berusaha memahami isi teks dan lebih bermaksud menikmati serta
menghayati totalitas teks, dalam Kadarisman (2010:122). Tembang berasal dari kata dalam Bahasa Jawa.
Tembang dalam Bahasa Indonesia menurut (KBBI v1.3) menyatakan bahwa tembang
adalah syair yang diberi lagu (untuk dinyanyikan, nyanyian, puisi). Dalam tradisi Jawapun ada
beberapa tembang yang diantaranya merupakan pemaknaan kehidupan manusia yaitu
tembang macapat (maca papat-papat) atau ada pula yang menamainya (maca sipat), sebab memang pada umumnya
tembang ini berisikan sifat-sifat manusia dalam proses kehidupan. Selain itu
ada pula tembang yang berasal dari campuran beberapa genre musik yaitu tembang campursari yang pertama dikenalkan di
Solo, Jawa Tengah dan sebagai warisan asli budaya Indonesia khususnya Jawa.
Objek
kajian dalam penelitian ini berupa tembang Jawa yang populer bukan hanya pada
masanya, namun juga pada masa sekarang dan tergolong dalam tembang campursari (campuran dari beberapa genre
musik) yang berjudul “Lingsir Wengi”. Namun karena sebuah kesalahan pemaknaan
sehingga tembang yang maknanya romantis ini sering disangkutpautkan dengan
kejadian mistis dan ruh halus. Padahal ada tembang lain yang berjudul sama,
namun memang isi dan pembawaanya berbeda.
Hal inilah
yang menjadikan daya tarik bagi peneliti untuk mengungkap makna dibalik tembang
“Lingsir Wengi” versi campursari.
Berdasarkan latar belakang di atas,
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah. Bagaimanakah makna leksikal,
gramatikal, dan kontekstual tembang “Lingsir Wengi” versi campursari, serta apakah benar makna dari tembang tersebut mengarah
ke hal-hal mistis yang sesuai dengan anggapan masyarakat.
B. Objek Kajian Penelitian
Tembang
|
Glos
|
Baris
|
Lingsir Wengi
|
Bakda
tengah malam
|
Baris
pertama
|
Sepi durung bisa nendra
|
Sepi
belum bisa tidur
|
Baris
kedua
|
Kagodha mring wewayah kang ngreridhu
ati
|
Tergoda
saat-saat yang menggoda hati
|
Baris
ketiga
|
Kawitane mung sembrana njur kulina
|
Awalnya
hanya bergurau tapi jadi kenyataan
|
Baris
keempat
|
Ra ngira yen bakal nuwuhke tresna
|
Tak
kusangka bila akhirnya menumbuhkan cinta
|
Baris
kelima
|
Nanging duh tibane
|
Tapi
pada akhirnya
|
Baris
keenam
|
Aku dhewe kang nemahi
|
Aku
sendiri yang mengalami
|
Baris
ketujuh
|
Nandhang branta
|
Mengalami
kerinduan yang memuncak
|
Baris
kedelapan
|
Kadung lara sambat-sambat sapa
|
Terlanjur
sakit mengeluh pada siapa
|
Baris
kesembilan
|
Rina wengi sing tak puji aja lali
|
Siang
malam yang ku doakan jangan lupa
|
Baris
kesepuluh
|
Janjine muga bisa tak ugemi
|
Janjinya
semoga bisa kupercaya
|
Baris
kesebelas
|
Objek
kajian diiatas merupakan data yang diambil dari videoklip campursari berjudul “Lingsir Wengi” dan dinyanyikan oleh Nurhana.
Selain itu, lirik yang terdapat dalam videoklip tersebut juga sesuai dengan
lirik lagu “Lingsir Wengi” yang terdapat dalam sebuah situs blog yang berjudul Tivativy dan mengangkat permasalahan bahwa tembang “Lingsir Wengi”
itu bertemakan cinta. Tembang ini selain dinyanyikan oleh Nurhana, juga pernah
dibawakan oleh Didi Kempot, seorang penyanyi tembang campursari ternama. Berdasarkan perkiraan tembang ini
diciptakan oleh Sukap Jiman, seorang pencipta tembang campursari asal Solo yang juga bukan hanya pencipta tembang
“Lingsir Wengi”, namun masih banyak lagi tembang yang pernah diciptakan oleh
beliau misalnya “Kempling”, “Teh Poci”, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan
beberapa album tembang campursari
asli Jawa Tengah yang selalu menyertakan penyanyi dan pencipta lagu diawal
videoklip.
C. Landasan Teori
Landasan teori yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi.
a.
Makna leksikal adalah makna kata ketika kata itu berdiri
sendiri, entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang
lebih tetap, seperti yang dapat dibaca dalam kamus bahasa tertentu (Pateda,
2010: 119). “Makna leksikal ini mempunyai dipunyai unsur-unsur bahasa lepas
dari penggunaannya atau konteksnya (Harimurti, 1982: 103 dalam Pateda,
2010:119). Verhaar (1983:9 dalam Pateda, 2010:119) berkata, “...semantik
leksikal tidak perlu kita uraikan banyak disini; sebuah kamus merupakan contoh
yang tepat dari semantik leksikal; makna tiap-tiap kata diuraikan di situ”.
Memang, makna leksikal sebuah kata dapat dilihat di dalam kamus.” Makna
leksikal suatu kata terdapat dalam kata yang berdiri sendiri. Dikatakan berdiri
sendiri sebab makna sebuah kata dapat berubah apabila kata tersebut telah
berada di dalam kalimat. Dengan demikian ada kata-kata yang makna leksikalnya
dapat dipahami jika kata-kata itu sudah dihubungkan dengan kata-kata yang lain.
Kata-kata seperti ini termasuk kelompok kata tugas atau partikel, misalnya kata
dan, ini, ke, yang (Pateda, 2010: 119).
b.
Makna gramatikal, atau makna fungsional, atau makna
struktural, atau makna internal adalah makna yang muncul sebagai akibat
berfungsinya kata dalam kalimat (Pateda, 2010: 103). Menurut Chaer (2009:
62-63) makna gramatikal itu bermacam-macam. Setiap bahasa mempunyai sarana atau
alat gramatikal tertentu untuk
menyatakan makna-makna, atau nuansa
makna gramatikal itu. Proses komposisi atau proses penggabungan dalam
bahasa indonesia melahirkan makna gramatikal. Makna gramatikal dapat diketahui
tanpa mengenal makna leksikal unsur-unsurnya.
c.
Makna kontekstual atau
makna situasional muncul sebagai akibat hubungan dari ujaran dan konteks. Sudah
diketahui bahwa konteks itu terwujud dalam banyak hal. Konteks yang dimaksud
disini yakni; (i) konteks orangan, termasuk hal yang berkaitan dengan jenis
kelamin, kedudukan pembicara, usia pembicara, latar belakang sosial ekonomi
pembicara. (ii) konteks situasi, misalnya situasi aman dan situasi ribut. (iii)
konteks tujuan, misalnya meminta mengharapkan sesuatu... (Pateda, 2010: 116).
Istilah kontekstual berasal dari kata dasar konteks. Dalam Kridalaksana
(2008: 134) mengatakan konteks adalah pragmatic. 1) aspek-aspek lingkungan
fisik atau social yang kait-mengait
dengan ujaran tertentu; 2) pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendenganar
sehingga pendengar paham apa yang dimaksud pembicara.
D.
Analisis
dan Hasil Temuan
a.
Kandungan makna
leksikal pada tembang “Lingsir Wengi”
No.
|
Kata dalam tembang
|
Letak dalam tembang
|
Kategori tingkat tutur
|
Makna leksikal
|
Makna Gramatikal
|
Makna Kontekstual
|
Keterangan
|
1.
|
Lingsir
|
Baris pertama
|
KN
|
Wis
ngglewang; nisih ut ora ana tengah bener
‘sudah
melenceng; atau tidak pada tengah-tengah’
|
Makna
gramatikal dari lingsir adalah
berfungsi sebagai menerangkan kata wengi
pada frasa lingsir wengi sekaligus
mempersempit penggunaan kata wengi
yang pada makna leksikalnya ‘mulai sore’ menjadi ‘setelah tengah malam’. Hal
ini didukung oleh bentukan frasa bahasa Jawa sendiri yang artinya ‘bakda
tengah wengi’.
|
Bakdha ‘setelah’
|
|
2.
|
Wengi
|
N
|
Wayah
wiwit surup tumeka jebule srengenge
‘mulai
sore sampai munculnya matahari’
|
Makna
gramatikal dari wengi dalam teks
tembang merupakan objek yang diterangkan, mengingat kata tersebut adalah
pecahan dari bentuk frasa lingsir wengi.
Makna dari wengi sendiri mengalamai
penyempitan dari makna leksikalnya menjadi waktu malam yang dimulai dari
tengah malam antara pukul 12 malam sampai 1 malam.
|
Tengah
wengi ‘tengah malam’
|
Kata
wengi tersebut jika dalam konteks jawa merupakan waktu puspa tajem yaitu pukul 01-04, menjelang subuh.
|
|
3.
|
Sepi
|
Baris Kedua
Baris kedua
|
N
|
Ora
rame; suwung
‘tidak
ramai; sunyi’
|
Makna
gramatikal dari sepi adalah lebih
mengalami penyempitan lagi yaitu kesepian atau dalam hal ini seseorang yang
tidak mempunyai teman. Sedangkan dalam tembang adalah teman untuk malam hari.
|
Kesepian
|
|
4.
|
Durung
|
N
|
Isih
kurang karo mangsane kang dituju
‘masih
dalam keadaan tidak’
|
Masih
dalam keadaan tidak
|
Durung
|
|
|
5.
|
Bisa
|
N
|
Kuwagang
nindakake
‘dapat
melakukan sesuatu’
|
Dapat
melakukan sesuatu.
|
Bisa, Dapat
|
|
|
6.
|
Nendra
|
Kl
|
Turu
‘tidur;
hendak mengistirahatkan badan dan kesadaranya.
|
Tidur.
|
Tidur
Nyenyak
Ket. jika
mengarah ke kontekstual maka umumnya orang yang sedang merindu adalah dia
berusaha tidur tapi tidak bisa tidur (tidur secara benar)
|
|
|
7.
|
(Ka)godha
|
Baris ketiga
Baris ketiga
|
KN
|
Apa-apa
sing njalari dosa ut tumindak ora bener
‘apa-apa
yang menyebabkan dosa atau berbuat tidak benar’
|
Penambahan
afiks {ka-} pada kata godha
mempunyai makna sesuatu yang menyebabkan. Namun makna gramatikalnya kagodha sendiri dalam tembang adalah njalari wong ora tenang ‘membuat orang
merasa tidak tenang’
|
Mengalami Godaan (tergoda)
|
|
8.
|
Mring
|
Kl
|
Marang
‘untuk’
‘kata depan untuk menyatakan bagi’
|
Marang jika diambil
makna gramatikalnya adalah bermakna oleh, atau kata penghubung untuk menandai
pelaku.
|
Oleh sesuatu
|
Terjadi
perubahan bentuk kata pada leksem marang menjadi mring yang tidak menimbulkan makna baru namun menimbulkan
keindahan dalam kalimat. Sebab dalam jenisnya kata mring merupakan klasik, atau
kawi.
|
|
|
Wewayah
|
N
|
Wektu
‘waktu’
|
Makna
gramatikal dari wewayah adalah wayah-wayah atau bersifat jamak.
Karena terdapat reduplikasi akar sebagian.
|
Wayah-wayah (bentuk
jamak)
|
Tejadi
reduplikasi tunggal pada kata wayah.
|
|
9.
|
Kang
|
N
|
Sing
‘yang’
kata hubung
|
‘Yang’
sebagai kata penghubung
|
Yang
|
|
|
10.
|
Ngreridhu
|
|
Supaya
nglakoni dosa ut tumindak ora bener
‘supaya
melakukan dosa atau berbuat tidak baik’
|
Makna
gramatikal dari kata ngreridhu adalah
anggodha sing njalari ora tenang
‘menggoda yang menyebabkan tidak bisa tenang’
|
Panggodha
‘penggoda’
|
|
|
11.
|
Ati
|
N
|
1. Peranganing
jeroan wong ut kewan rupane abang, kanggo njupuk sarine pangan saka getih lan
ngasilake banyu rempelu
’organ
badan yang berwarna merah, untuk mengambil sari makanan dari darah dan
menghasilkan air empedu’
2. jantung
‘jantung’
3.
rasa
rumangsa
‘apa
yang terasa dalam batin’
|
Makna
gramatikal dari ati adalah rasa
yang ada dalam batin. Berhubungan dengan perasaan seseorang.
|
Perasaan dalam hati
|
|
|
12.
|
Kawitane
|
Baris keempat
Baris keempat
|
KN
|
Sing
dhisek dhewe; asal-asale
‘yang
lebih dulu; asal-muasalnya’
|
Penambahan
konfiks {k-ane} menyebabkan kata awit
‘mula’ yang bersifat diterangkan menjadi
kawitane ‘mulanya’ yang bersifat menerangkan.
|
Awalnya
|
|
13.
|
Mung
|
N
|
Ora
ana liane
‘tidak
ada lainya’
|
Hanya
atau Cuma
|
Hanya atau cuma
|
|
|
14.
|
Sembrana
|
KN
|
Kurang
tumemen
‘kurang
sungguh-sungguh’
|
Kata
sembrana memiliki makna gramatikal
sembarangan serta tidak memperhitungkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
|
Sembarangan
|
|
|
15.
|
Njur
|
N
|
1.terusan wae
tanpa leren
‘terus
saja tanpa berhenti’
2.mlaku terus
‘berjalan
terus’
|
Menyatakan
hasil dari sebuah proses
|
Menyatakan perilaku yang terus menerus
kemudian berhenti pada hasil
|
Njur merupakan
perubahan bentuk dari kata banjur
yang mengalami peluluhan ba- namun
memiliki makna yang sama.
|
|
16.
|
Kulina
|
KN
|
wis
wanuh banget
‘sudah
akrab sekali’
|
Sudah
akrab sekali
|
Akrab
sekali
|
|
|
17.
|
ra
|
Baris kelima
Baris kelima
|
N
|
Kosokbaline
iya
‘lawan
kata iya’
|
Lawan
kata dari iya
|
Lawan
kata dari iya
|
ra- merupakan perubahan bentuk dari
kata ora yang mengalami peluluhan o- namun memilika makna yang saman.
|
18.
|
Ngira
|
N
|
Nyana;
duga
‘menyangka;
memperkirakan’
|
Penambahan
afiks {N-} pada kata kira
menyebabkan perubahan makna menjadi seseorang yang melakukan kegiatan
memperkirakan.
|
Mem-perkirakan
|
|
|
19.
|
Yen
|
KN
|
tembung
panggandheng
‘kata
penghubung’
|
kata
penghubung untuk menandai syarat
|
Kata
penghubung untuk menandai syarat
|
|
|
20.
|
Bakal
|
N
|
1.apa-apa sing
arep dianggo dandangan
‘yang
akan dijadikan sesuatu’
2.calon
‘orang
yang akan menjadi’
|
Bakal
mengalami perubahan makna gramatikal peran dari pasif menjadi aktif. Dalam
makna leksikal bakal adalah ‘sesuatu yang akan dijadikan’ sedangkan dalam
gramatikal bermakna ‘menjadikan’
|
menjadikan
|
|
|
21.
|
Nuwuhke
|
KN
|
1.N-tukul-ke
‘menumbuhkan’
2.Nganakake
‘mengembangbiakan’
|
Konfiks
{N-ke} pada kata tuwuh ‘tumbuh’
menimbulkan makna baru yaitu ‘menumbuhkan’. Tapi bukan makna menumbuhkan/
berkembangbiak, tapi ‘menimbulkan perasaan baru’ ‘membuat jadi’
|
menimbulkan
|
|
|
22.
|
Tresna
|
KN
|
1.asih,
mulunging ati marang liyan (tanpa hawa nepsu)
‘kasih
sayang; memberikan hati kepada orang lain (tanpa hawa nafsu)’
2.seneng marang
‘senang
dengan’
|
Makna
gramatikal kata tresna pada tembang
merupakan bentuk kasih sayang; memberikan hati kepada orang lain.
|
Kasih
sayang dengan cara memberikan perasaanya kepada orang lain
|
|
|
23.
|
Nanging
|
Baris keenam
Baris ketujuh
|
KN
|
Tembung
pangiket ut panggandeng sing ngomongne kosok balen
‘kata
penghubung antarkalimat yang menyatakan pertentangan’
|
kata
penghubung antarkalimat yang menyatakan pertentangan antara keromantisan
dengan kesedihan jika dikaji dalam tembang.
|
kata
penghubung antarkalimat yang menyatakan pertentangan
|
|
24.
|
Duh
|
-
|
-
|
Makna
gramatikal duh adalah ungkapan
kesedihan yang tidak diduga-duga. Duh
merujuk pada tibane yang menjadi titik tolak
nuansa keromantisan pada tembang berubah menjadi kesedihan.
|
Menyatakan
perasaan sedih dan hal yang tidak diduga-duga.
|
Merupakan
bentuk interjeksi yang menyatakan kesediahan.
|
|
25.
|
Tibane
|
N
|
Tumekane
ing pungkasan
‘setelah
sampai di akhir’
|
Dari
makna leksikal tiba mendapat sufiks
{-ne} sangat mempengaruhi perubahan makna. Tiba yang awalnya adalah ‘jatuh dari krtinggian’ menjadi ‘setelah
sampai di akhir’ berhubungan dengan akhiran.
|
Sialnya
Ket.
Karena pada makna leksikal tiba
berarti jatuh dari ketinggian, maka itu pasti akan terasa sakit. Ditambah
lagi sebelum kata tibane terdapat
interjeksi yang menyatakan kesedihan, kesakitan,
|
|
|
26.
|
Aku
|
N
|
Tembung
sesulih utama purusa
‘kata
ganti orang pertama’
|
Kata
ganti orang pertama bermakna tunggal
|
Kata
ganti orang pertama bermakna tunggal
|
|
|
27.
|
Kang
|
N
|
Sing
‘yang’
‘kata untuk menyatakan bahwa
kata atau kalimat yang berikut diutamakan atau dibedakan dari yang lain’
|
Berfungsi
sebagai pengutama atau pembeda kalimat berikutnya.
|
Yang;
atau menyatakan bahwa kalimat berikut diutamakan atau dibedakan dari yang
lain.
|
|
|
28.
|
Nemahi
|
KN
|
Ngalami
‘mengalami’
|
Mengalami
sesuatu.
|
Mengalami
sesuatu
|
|
|
29.
|
Nandhang
|
Baris kedelapan
|
KN
|
Nanggung
‘menanggung’
|
Menanggung
|
Menanggung
|
Kata
ini tidak ditemukan dikamus dan hanya dari internet.
|
30.
|
branta
|
KN
|
Kasmaran
sing wis muntup-muntup
‘kasmaran
yang memuncak’
|
Kasmaran
atau kerinduan yang memuncak
|
Kerinduan
yang memuncak
|
Kata
branta tidak ada dikamus. Pemaknaan
berdasarkan keterangan lisan dari dosen.
|
|
31.
|
Kadung
|
Baris kesembilan
Baris kesembilan
|
KN
|
1.ora tekan
‘tidak
sampai’
2.durung lega
‘belum
lega’
3.luput tujune
‘hilang
tujuanya’
|
Makna
gramatikal pada bentuk kadung adalah
terlanjur. Karena setelah kata kadung
disusul oleh kata lara yang
bersifat menerangkan.
|
terlanjur
|
|
32.
|
Lara
|
Kl
|
Susah;
sedih
‘susah;sedih’
Nandhang
ora kepenak ing badane
‘mengalami
tidak enak badan’
|
Makna
gramatikal lara dalam tembang
adalah susah atau sedih hati.
|
Susah
atau bersedih hati
|
|
|
33.
|
Sambat-(sambat)
|
KN
|
Njaluk
tulung
‘minta
tolong’
|
Minta
tolong
|
Sindiran terhadap seseorang yang diharap-harapkanya.
|
|
|
34.
|
Sapa
|
N
|
Tembung
pitakon sing nakonake jenenge uwong
‘kata
tanya yang menanyakan namanya seseorang’
|
kata
tanya yang menanyakan namanya seseorang
|
kata
tanya yang menanyakan namanya seseorang
|
|
|
35.
|
Rina
|
Baris kesepuluh
Baris kesepuluh
|
N
|
Wayah
awan
‘waktu
siang’
|
Rina wengi merupakan
frasa yang mempunyai makna siang malam atau waktu satu hari penuh (24 jam)
|
Menggambarkan proses waktu yang dihabiskan oleh penyair sangat
lama dan tidak bosanya menunggu yang diharap-harapkan.
|
|
36.
|
Wengi
|
N
|
Wayah
wiwit surup tumeko jebule srengenge
‘mulai
sore sampai munculnya matahari’
|
Rina wengi merupakan
frasa yang mempunyai makna siang malam atau waktu satu hari penuh (24 jam)
|
Menggambarkan proses waktu yang dihabiskan oleh penyair sangat
lama dan tidak bosanya menunggu yang diharap-harapkan.
|
|
|
37.
|
Sing
|
KN
|
Sangka;
saka
‘dari’ ‘kata depan yang menyatakan tempat permulaan’ |
Yang,
atau menunjuk pada sesuatu.
|
Yang,
atau menunjuk pada sesuatu.
|
|
|
38.
|
Tak
|
N
|
Dak;aku
‘penunjuk
pelaku, kepunyaan aku’
|
Melakukan
sesuatu (berharap-harap kepada seseorang).
|
Melakukan
sesuatu (berharap-harap kepada seseorang).
|
|
|
39.
|
Puji
|
KN
|
1.donga;
pandonga
‘do’a’
2.sembahyangan
‘do’a
kepada Tuhan’
3.pangarep-arep
supaya
‘berharap
agar’
|
Puji di dalam
tembang berarti berharap-harap kepada seseorang.
|
berharap-harap
kepada seseorang.
|
|
|
40.
|
Ojo
|
KN
|
Ngojoni;nglarang
‘bentuk
kata larangan’
|
Berfungsi
sebagai larangan
|
Larangan
|
|
|
41.
|
Lali
|
N
|
Ora
kelingan
‘lupa/tidak
dalam ingatan’
|
Melupakan
seseorang yang merindukanya
|
Melupakan
|
|
|
42.
|
Janjine
|
Baris kesebelas
|
KN
|
Saguhe;kasaguhane
‘kesanggupan’
|
Kesanggupanya
|
Kesanggupan-nya
|
|
42.
|
Muga
|
N
|
Tembung
kanggo nerangake pamuji supaya kelakon mangkono
‘moga/kata
yang digunakan menerangkan do’a agar terjadi seperti keinginan’
|
Moga/kata
yang digunakan menerangkan do’a agar terjadi seperti keinginan.
|
Moga/kata
yang digunakan menerangkan do’a agar terjadi seperti keinginan.
|
|
|
43.
|
Bisa
|
N
|
Kuwagang
nindakake
‘dapat
melakukan sesuatu’
|
Dapat
melakukan sesuatu.
|
Bisa,
dapat
|
|
|
44.
|
Ugemi
|
KN
|
Nuhoni
tumrap janji
‘menjaga
janji dengan teguh hati’
|
Ugemi dari kata ugem yang mendapat sufiks {-i}. dari
makna awalnya teguh hatinya berubah menjadi meneguhkan hati. Karena berusaha
menjaga janji.
|
Meneguhkan
hati karena janji
|
|
Ket. Makna kontekstual berwarna merah merupakan
konotasi.
KN: Krama Ngoko
N:
Ngoko
Kl:
Klasik, kawi, basa rinengga
Keterangan
tambahan:
Berikut beberapa
bahasan mengenai data keterangan yang terdapat dalam tabel.
1. Reduplikasi
Terdapat beberapa fenomena
reduplikasi yang ada pada teks tembang “Lingsir Wengi”, antara lain adalah wewayah dan sambat sambat. Jika digolongkan berdasarkan jenis reduplikasi, kata
wewayah termasuk ke dalam jenis
reduplikasi morfologis pengulangan akar secara sebagian yang maknanya lebih
dari satu atau jamak. Contohnya seperti leluhur,
tetangga, dan lelaki.
Jika ditelisik ke dalam klausa
pembentuknya yang berbunyi kagoda mring
wewayah kang ngreridu ati, arti dari kata wewayah memang jamak dan berasal dari pengulangan utuh wayah-wayah. Lalu mengapa penyair
menggunakan kata wewayah? Pertama,
mungkin penyair ingin menunjukan bahwa wayah
‘waktu’ atau ‘kejadian’ yang dimaksudkan bukan hanya satu kali. Kemungkinan
sering sehingga menimbulkan rasa kang
ngreridu ati yang artinya ‘yang menggoda hati’. Makna kejadian ini (wayah) jika dilihat dari klausa
pembentuknya adalah penyebab munculnya kata kulina
pada baris ketiga teks tembang. Sehingga terjadi timbal-balik yang saling
mendukung kemunculan makna sebenarya dari teks tembang.
Kedua, penggunaan kata wewayah juga dapat dikaitkan dengan
aspek struktural puitika yang dipengaruhi oleh ragam bahasa endah. Jika kata wewayah diganti dengan wayah-wayah,
maka aspek keindahan yang juga di dalamnya terdapat makna implisit akan
berkurang. Selain itu, seperti yang dikatakan Arifin dalam Wedhawati bahwasanya dialek Jawa sering menggunakan reduplikasi
parsial (bagian dari keseluruhan), hal itu dapat dilihat pada kata lelungan yang bermakna bepergian ‘tidak
sekali pergi’ dan sekali lagi bersifat jamak.
Selanjutnya kata sambat sambat juga merupakan sebuah hasil dari reduplikasi yang
lebih mengkhususkan reduplikasi sintaksis, dimana pengulangan terhadap sebuah
dasar tetapi menghasilkan satuan bahasa yang statusnya lebih tinggi daripada
sebuh kata, Chaer (2008:179). Namun setelah ditelisik lebih jauh, kata sambat sambat yang bermakna ‘mengeluh’
tidak menciptakan makna baru tapi hanya sebuah ‘ulangan kata’ bukan ‘kata
ulang’. Ketika diterapkan dalam klausa teks tembangpun, kata sambat sambat tidak menimbulkan makna
baru. Kadung lara sambat sambat sopo dengan
kadung lara sambat sopo jika
dianalisis berdasarkan makna tidak ada perubahan makna, tapi itu adalah
fenomena reduplikasi yang kemungkinan digunakan penyair untuk menekankan
penggunaan makna kata tersebut agar lebih kuat. Jika memang seperti itu, maka
penggunaan kata sambat sambat sopo adalah suatu bentuk sindiran
terhadap seseorang, bisa jadi itu adalah orang yang membuatnya nandhang branta. Maka bentuk sambat sambat sopo merupakan sindiran
implisit yang lebih ditekankan agar maknanya kuat dan pesan makna tersebut
sampai pada orang yang membuat nandhang
branta penyair.
2. Interjeksi
Kemudian, terdapat satu interjeksi
yang terdapat di teks tembang, yaitu duh.
Dalam penggunaanya terlihat sedikit menyimpang, karena terletak di tengah
klausa. Jika dalam penggolonganya interjeksi tersebut merupakan interjeksi
primer sebab termasuk berpola K(V)K, Arifin dalam Wedhawati. Interjeksi merupakan bentuk ekspresi diri dan penanda
bahwa seseorang telah menderita sesuatu. Hal itu terlihat pada interjeksi duh yang diluapkan oleh penyair. Namun
interjeksi tersebut terletak di tengah klausa, karena pada umumnya interjeksi
terletak di depan seperti pada bentuk.
1) Aduh, mataku terkena debu
2) Ah, itu terlalu mudah
Pada
dasarnya struktur dari interjeksi adalah seperti Aduh, mataku terkena debu. Aduh
adalah interjeksi, kemudian mataku
adalah subjek, terkena predikat, debu adalah objek. Maka dapat
disimpulkan bahwa setelah interjeksi adalah subjek. Tapi fenomena yang terjadi
di dalam teks tembang adalah interjeksi yang ada di tengah klausa.
Kata duh
dalam nanging duh tibane merupakan
interjeksi primer yang lebih menekankan pada kata setelahnya yaitu tibane ‘ternyata’. Disini mungkin
penyair ingin memberikan penekanan pada tibane
‘ternyata’ atau kenyataan yang sebenarnya terjadi di dalam tembang adalah
kesedihan penyair akibat sembrara njur
kulina. Sesuatu yang tidak disengaja yang kemudian menjadikan itu suatu
kebiasaan. Kata tibane memang menjadi
titik balik dari keromantisan dalam tembang menjadi kesedihan yang mendalam.
Hal itulah yang menyebabkan penyair menekankan atau memberikan interjeksi pada
kata tibane dan hal tersebut
mempengaruhi aspek kebahasaan yang terdapat dalam tembang.
3.
Denotatif dan Konotatif
Berdasarkan pemaparan tabel analisis
makna diatas dan juga definisi dari makna konotatif menurut pateda, (2010:112) bahwa makna
konotasi muncul akibat asosiasi pemakai bahasa terhadap kata yang didengar atau
kata yang dibaca. Maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa terdapat sembilan
kata yang berkonotasi, dapat dilihat pada tabel berikut.
Bunyi kata dalam tembang
|
Baris
|
Makna
leksikal
|
Makna
kontekstual
|
Lingsir
|
Pertama
|
Wis
ngglewang; nisih ut ora ana tengah bener
‘sudah
melenceng; atau tidak pada tengah-tengah’
|
Ba’da atau setelah
|
Wengi
|
Pertama
|
Wayah
wiwit surup tumeka jebule srengenge
‘mulai
sore sampai munculnya matahari’
|
Tengah malam
|
Sepi
|
Kedua
|
Ora
rame; suwung
‘tidak
ramai; sunyi’
|
Kesepian
|
Nendra
|
Kedua
|
Turu
‘tidur’
|
Tidur
Nyenyak
Ket. jika mengarah
ke kontekstual maka umumnya orang yang sedang merindu adalah dia berusaha
tidur tapi tidak bisa tidur (tidur secara benar)
|
Ngreridhu
|
Ketiga
|
Supaya
nglakoni dosa ut tumindak ora bener
‘supaya
melakukan dosa atau berbuat tidak baik’
|
Panggodha
‘penggoda’
|
Nuwuhke
|
Kelima
|
1.N-tukul-ke
‘menumbuhkan’
2.Nganakake
‘mengembangbiakan’
|
Menimbulkan ‘membuat jadi’
|
Tibane
|
Keenam
|
Tumekane
ing pungkasan
‘setelah
sampai di akhir’
|
Sialnya
Ket. Karena pada makna leksikal tiba berarti jatuh dari ketinggian,
maka itu pasti akan terasa sakit. Ditambah lagi sebelum kata tibane terdapat interjeksi yang menyatakan
kesedihan, kesakitan.
|
Rina
|
Kesepuluh
|
Wayah
awan
‘waktu
siang’
|
Menggambarkan
proses waktu yang dihabiskan oleh penyair sangat lama dan tidak bosanya
menunggu yang diharap-harapkan.
|
Wengi
|
Kesepuluh
|
Wayah
wiwit surup tumeka jebule srengenge
‘mulai
sore sampai munculnya matahari’
|
Menggambarkan
proses waktu yang dihabiskan oleh penyair sangat lama dan tidak bosanya
menunggu yang diharap-harapkan.
|
Sambat-(sambat)
|
Kesembilan
|
Njaluk
tulung
‘minta
tolong’
|
Sindiran
terhadap seseorang yang diharap-harapkanya.
|
Perbandingan antara kata yang
berkonotasi dengan kata denotasi adalah 1: 4, sehingga dapat disimpulkan bahwa
tembang “Lingsir Wengi” lebih menggunakan makna lugas atau denotatif daripada
makna konotatif. Selain itu penggunaan tingkat bahasa lebih dominan penggunaan tingkat
bahasa ngoko. Hal itu berarti jarak
kedudukan antara pembicara/penembang dengan orang yang dituju tidak berbeda
jauh atau mungkin sama.
4.
Gejala Bahasa
Terdapat juga gejala bahasa seperti penambahan (aferesis, sinkop, apokop) serta
penghilangan (protesis, efentesis,
paragog) fonem pada suatu kata yang dapat dilihat dalam tabel berikut.
Bunyi kata
dalam tembang
|
Baris
|
Bentuk asal
|
Termasuk
kedalam gejala bahasa
|
Keterangan
|
mring
|
Ketiga
|
marang
|
sinkop
|
Terjadi
perubahan bentuk kata pada leksem marang menjadi mring yang tidak menimbulkan makna baru namun menimbulkan
keindahan dalam pengucapanya. Perubahan bentuk tersebut tergolong
penghilangan fonem ditengah kata.
|
njur
|
Keempat
|
banjur
|
aferesis
|
njur merupakan
perubahan bentuk dari kata banjur
yang mengalami penghilangan bentuk ba- sebagai
awal, namun memiliki makna yang sama.
|
ra
|
Kelima
|
ora
|
aferesis
|
ra- merupakan
perubahan bentuk dari kata ora yang
mengalami penghilangan o- sebagai
awal, namun memiliki makna yang sama.
|
Berdasarkan
tabel diatas terdapat satu sinkop (penghilangan fonem pada tengah kata) dan dua
aferesis (penghilangan fonem pada awal kata) dalam lirik tembang “Lingsir
Wengi”. Fenomena ini memang tidak sedikit banyak mepengaruhi makna, namun dapat
berpengaruh pada tingkatan tutur. Maksudnya, jika banyak kata atau bentuk asal
yang sengaja dihilangkan fonem awal, tengah, maupun akhir berarti tuturan yang
diproduksi bukan untuk seseorang yang dihormati, atau merasa dituakan. Tetapi,
adalah orang yang mungkin sejawat sehingga petutur bebas dalam mengkreasikan
bahasanya.
E.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian
ini, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai tembang “Lingsir Wengi” berdasarkan
analisis kontekstual serta hasil temuan.
1.
Lirik tembang “Lingsir Wengi” tidak membahas hal-hal mistis,
melainkan membahas tentang kerinduan seseorang kepada kekasih yang telah
memuncak.
2.
Penggunaan bahasa denotatif dalam lirik tembang “Lingsir
Wengi” lebih dominan daripada bahasa konotatif.
3.
Pada lirik tembang “Lingsir Wengi” terdapat beberapa
reduplikasi dan interjeksi.
4.
Terdapat gejala bahasa yaitu penambahan dan penghilangan
fonem pada lirik tembang “Lingsir Wengi”.
Hal ini
telah membuktikan kepada masyarakat luas bahwa lirik tembang “Lingsir Wengi”
bermakna kerinduan kepada seorang kekasih dan bukan mengarah ke hal-hal mistis.
0 komentar:
Posting Komentar