Jumat, 01 Maret 2013

Tak Semerah Muda Cappuccinomu, Sayang



            Pikirkanlah jika memang benar cangkir itu berdusta kepadamu dan dia mengatakan bahwa cappuccino itu telah dingin. Padahal cappuccino itu masih bisa melelehkan lidahmu yang belum sempat kering oleh ludahku dari ciuman kita semenit lalu. Tentu dia akan membatu dan membisu tatkala engkau menanyainya dengan pipi penuh tetesan air mata seperti itu, dan yang akan kau temukan hanyalah kenistaan.
**
Mungkin di masa esok kita akan terpisah oleh waktu yang tetap saja bergulir, meskipun aku telah bertaruh demi cinta, hanya untuk memohon berhentinya dentang jam tapi tak ada yang mengabulkanku kecuali satu keheningan yang keji mendatangiku.
Pada tibanya hari itu, aku akan menoleh kebelakang.
Melihatmu sebagai lalu yang indah.
yang mewariskan berjuta warna memori.
Tapi sungguh.
Mungkin aku akan lupa segalanya.
Lupa hari-hari kala manismu yang mempesona.
Demi kenangan yang terlupakan.
Aku tak sekalipun bermaksud untuk ini.
Menulis sajak perpisahan saat kita masih tertawa bersama.
Sungguh aku tak akan sanggup menulisnya saat kita benar-benar terpisah.
Senada alunan laraku aku sampaikan.
Tahun terindah adalah bersama hadirmu.
Tapi bagaimana jika ini benar terjadi?
Padahal ada seikat janji disana.
Baitan puisi ini adalah surat terakhirku.
untuk kilau mentariku sayang.
Meski harus terputus,
Ku akan bicara tentang detik-detik terbaik dalam hidupku adalah saat mencintaimu.
Aku tak peduli bila dunia masih berputar dan tinggalkan kenangan.
Aku hanya ingin meminta pada sang Esa.
Agar aku diberi waktu di balik langit nanti.
Waktu yang mungkin tak banyak..
Waktu untuk bersamamu kembali.
Dengan itu, mungkin aku akan mengingat senyumu.
Biar ku paksa ingat semua.
Tawaku, tawamu yang bahagia.
Mungkin saat waktu itu tiba semua telah mengartefak layak karang.
Sebelum kebencian bersarang di dadamu,
Ingin kutuliskan sebuah lirik.
Bahwa aku tak pernah ingin lakukan ini.
**

            Aku bukanlah malaikat yang katamu membawa kebaikan di setiap waktu, bahkan jika engkau berani bersumpah tak akan kau mengharapkan tatapan malaikat Izroil atau malah merindukanya seperti kau merindukanku sekarang. Aku bukan Iblis yang membiarkanmu masuk ke dalam lubang itu dan membuatmu bersenang-senang di atas kesusahan yang mungkin dapat terjadi sekarang jika aku tak melepaskan bibir ini. Aku juga bukan dia, atau dia yang membuangmu begitu saja ketika melihat kepulan hitam berada di atasmu, mengelilingimu, menjeratmu, dan akan melahapmu jika memang sudah waktunya. Kau tak perlu memanggilku Dewa penolong atau Dewa pembohong, karena memang tak ada yang pantas untukku. Di saat kau benar memilihku dan meninggalkan jalan abu-abumu, secara tidak sadar kau malah masuk ke jalan hitam, kelam, dan tak ada lampu atau bahkan kunang yang menyinarimu disana. Katamu itu benar, katamu itu adalah sebuah kemajuan, katamu itu adalah mihrab yang engkau nantikan di umur remajamu. Aku menyukai itu.
Tapi, Sayang, aku sungguh tak kuat jika harus membawamu kedalam palung yang lebih dasar setelah aku mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran yang tak ingin kau munculkan, apalagi aku. Mungkin memang pahit, kecut, membuat hati menciut, tapi inilah Sayang, inilah kebenaran yang sesungguhnya. Bukan tentang bait yang selalu kau buat di draft handphone kunomu, bukan tentang harapan yang selalu kau goreskan pada lembaran kertas binderku, tembok dan bangku ruang kampus kita, meja makan di warung langganan kita, serta tripleks yang bersih tak tahu apa-apa. Tapi ini tentang Do’a yang tak sengaja ku dengar tiap kali kau ucapkan setelah selesai menghadap kepadaNya. Kau selalu memohon kepadaNya. Sungguh aku tak kuat melihatmu memohon dengan dengan penuh harapan, dan aku tahu itu tak akan dikabulkaNya. Hanya akulah yang bisa mengabulkan Do’amu itu, bukan Dia, karena akulah sekarang yang kau sembah.
Kemarin waktu, aku sempat mengatakan kebenaran padamu tantang kepalsuan cangkir ini yang mendustaimu. Lalu apakah sekarang aku harus mengatakan kepalsuan cangkir ini lagi setelah kau meminumnya tinggal setengah? Sayang, aku sungguh tak tega mengatakan ini semua dan meninggalkanmu sendiri meratapi kenisataan yang kita buat bersama. Tapi aku juga tak ingin membawamu ke palung yang terdalam dimana tak akan ditemukan harapan dan Do’a lagi disana.
“Tak semua yang kita buat bersama akan ditanggung bersama bukan?” Itulah yang kudengar dari pengajian malam jumat kemarin. Mungkin itu cukup memberiku alasan kenapa harus jalan ini yang aku pilih.
Jangan berhenti berdo’a tentang apa yang ingin kau miliki dan sesungguhnya hitam pekatmu telah kian hari semakin bersinar. Aku tahu kau tak akan sudi menerimanya, menerimaku yang tiba-tiba pergi dari kehidupanmu. Tapi hanya ini yang bisa aku berikan untuk masa depanmu kelak. Jamahlah pemandumu, ikutilah setiap langkahnya, karena sesungguhnya dia jauh lebih baik daripada aku. Kini jalanmu sudah terang, dan kau juga harus siap melaluinya.
**
            Semenjak itu, aku selalu tidak mempercayai bahwa cappuccino di depanku benar-benar panas, walau aku sendiri yang membuatnya. Selalu aku menggunakan Termometer alkohol untuk mengecek suhu dari cappuccino tersebut, karena aku tak mau lidahku meleleh untuk kedua kalinya.


Oleh: M. Abdil Fatah Mansur

ads

Ditulis Oleh : Unknown Hari: Jumat, Maret 01, 2013 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar