Pikirkanlah jika memang benar cangkir itu berdusta
kepadamu dan dia mengatakan bahwa cappuccino itu telah dingin. Padahal
cappuccino itu masih bisa melelehkan lidahmu yang belum sempat kering oleh
ludahku dari ciuman kita semenit lalu. Tentu dia akan membatu dan membisu
tatkala engkau menanyainya dengan pipi penuh tetesan air mata seperti itu, dan
yang akan kau temukan hanyalah kenistaan.
**
Mungkin di masa esok kita
akan terpisah
oleh waktu yang tetap saja bergulir, meskipun aku telah bertaruh
demi cinta,
hanya untuk memohon berhentinya dentang jam tapi
tak ada yang mengabulkanku
kecuali satu keheningan yang keji mendatangiku.
Pada tibanya hari itu, aku
akan menoleh kebelakang.
Melihatmu sebagai lalu yang indah.
yang mewariskan berjuta warna memori.
Tapi sungguh.
Mungkin aku akan lupa segalanya.
Lupa hari-hari kala manismu yang mempesona.
Demi kenangan yang terlupakan.
Aku tak sekalipun bermaksud untuk ini.
Menulis sajak perpisahan saat kita masih tertawa bersama.
Sungguh aku tak akan sanggup menulisnya saat kita benar-benar terpisah.
Senada alunan laraku aku sampaikan.
Tahun terindah adalah bersama hadirmu.
Tapi bagaimana jika ini benar terjadi?
Padahal ada seikat janji disana.
Baitan puisi ini adalah surat terakhirku.
untuk kilau mentariku sayang.
Meski harus terputus,
Ku akan bicara tentang detik-detik terbaik dalam hidupku adalah saat mencintaimu.
Aku tak peduli bila dunia masih berputar dan tinggalkan kenangan.
Aku hanya ingin meminta pada sang Esa.
Agar aku diberi waktu di balik langit nanti.
Waktu yang mungkin tak banyak..
Waktu untuk bersamamu kembali.
Dengan itu, mungkin aku akan mengingat senyumu.
Biar ku paksa ingat semua.
Tawaku, tawamu yang bahagia.
Mungkin saat waktu itu tiba semua telah mengartefak layak karang.
Sebelum kebencian bersarang di dadamu,
Ingin kutuliskan sebuah lirik.
Bahwa aku tak pernah ingin lakukan ini.
Melihatmu sebagai lalu yang indah.
yang mewariskan berjuta warna memori.
Tapi sungguh.
Mungkin aku akan lupa segalanya.
Lupa hari-hari kala manismu yang mempesona.
Demi kenangan yang terlupakan.
Aku tak sekalipun bermaksud untuk ini.
Menulis sajak perpisahan saat kita masih tertawa bersama.
Sungguh aku tak akan sanggup menulisnya saat kita benar-benar terpisah.
Senada alunan laraku aku sampaikan.
Tahun terindah adalah bersama hadirmu.
Tapi bagaimana jika ini benar terjadi?
Padahal ada seikat janji disana.
Baitan puisi ini adalah surat terakhirku.
untuk kilau mentariku sayang.
Meski harus terputus,
Ku akan bicara tentang detik-detik terbaik dalam hidupku adalah saat mencintaimu.
Aku tak peduli bila dunia masih berputar dan tinggalkan kenangan.
Aku hanya ingin meminta pada sang Esa.
Agar aku diberi waktu di balik langit nanti.
Waktu yang mungkin tak banyak..
Waktu untuk bersamamu kembali.
Dengan itu, mungkin aku akan mengingat senyumu.
Biar ku paksa ingat semua.
Tawaku, tawamu yang bahagia.
Mungkin saat waktu itu tiba semua telah mengartefak layak karang.
Sebelum kebencian bersarang di dadamu,
Ingin kutuliskan sebuah lirik.
Bahwa aku tak pernah ingin lakukan ini.
**
Aku bukanlah malaikat yang katamu
membawa kebaikan di setiap waktu, bahkan jika engkau berani bersumpah tak akan
kau mengharapkan tatapan malaikat Izroil atau malah merindukanya seperti kau
merindukanku sekarang. Aku bukan Iblis yang membiarkanmu masuk ke dalam lubang
itu dan membuatmu bersenang-senang di atas kesusahan yang mungkin dapat terjadi
sekarang jika aku tak melepaskan bibir ini. Aku juga bukan dia, atau dia yang membuangmu
begitu saja ketika melihat kepulan hitam berada di atasmu, mengelilingimu,
menjeratmu, dan akan melahapmu jika memang sudah waktunya. Kau tak perlu
memanggilku Dewa penolong atau Dewa pembohong, karena memang tak ada yang pantas
untukku. Di saat kau benar memilihku dan meninggalkan jalan abu-abumu, secara
tidak sadar kau malah masuk ke jalan hitam, kelam, dan tak ada lampu atau
bahkan kunang yang menyinarimu disana. Katamu itu benar, katamu itu adalah
sebuah kemajuan, katamu itu adalah mihrab yang engkau nantikan di umur
remajamu. Aku menyukai itu.
Tapi,
Sayang, aku sungguh tak kuat jika harus membawamu kedalam palung yang lebih
dasar setelah aku mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran yang tak
ingin kau munculkan, apalagi aku. Mungkin memang pahit, kecut, membuat hati
menciut, tapi inilah Sayang, inilah kebenaran yang sesungguhnya. Bukan tentang
bait yang selalu kau buat di draft handphone kunomu, bukan tentang harapan
yang selalu kau goreskan pada lembaran kertas binderku, tembok dan bangku ruang
kampus kita, meja makan di warung langganan kita, serta tripleks yang bersih
tak tahu apa-apa. Tapi ini tentang Do’a yang tak sengaja ku dengar tiap kali
kau ucapkan setelah selesai menghadap kepadaNya. Kau selalu memohon kepadaNya.
Sungguh aku tak kuat melihatmu memohon dengan dengan penuh harapan, dan aku
tahu itu tak akan dikabulkaNya. Hanya akulah yang bisa mengabulkan Do’amu itu,
bukan Dia, karena akulah sekarang yang kau sembah.
Kemarin
waktu, aku sempat mengatakan kebenaran padamu tantang kepalsuan cangkir ini
yang mendustaimu. Lalu apakah sekarang aku harus mengatakan kepalsuan cangkir
ini lagi setelah kau meminumnya tinggal setengah? Sayang, aku sungguh tak tega
mengatakan ini semua dan meninggalkanmu sendiri meratapi kenisataan yang kita
buat bersama. Tapi aku juga tak ingin membawamu ke palung yang terdalam dimana
tak akan ditemukan harapan dan Do’a lagi disana.
“Tak
semua yang kita buat bersama akan ditanggung bersama bukan?” Itulah yang
kudengar dari pengajian malam jumat kemarin. Mungkin itu cukup memberiku alasan
kenapa harus jalan ini yang aku pilih.
Jangan
berhenti berdo’a tentang apa yang ingin kau miliki dan sesungguhnya hitam
pekatmu telah kian hari semakin bersinar. Aku tahu kau tak akan sudi
menerimanya, menerimaku yang tiba-tiba pergi dari kehidupanmu. Tapi hanya ini
yang bisa aku berikan untuk masa depanmu kelak. Jamahlah pemandumu, ikutilah
setiap langkahnya, karena sesungguhnya dia jauh lebih baik daripada aku. Kini
jalanmu sudah terang, dan kau juga harus siap melaluinya.
**
Semenjak
itu, aku selalu tidak mempercayai bahwa cappuccino di depanku benar-benar
panas, walau aku sendiri yang membuatnya. Selalu aku menggunakan Termometer
alkohol untuk mengecek suhu dari cappuccino tersebut, karena aku tak mau
lidahku meleleh untuk kedua kalinya.
Oleh: M. Abdil
Fatah Mansur
0 komentar:
Posting Komentar