Oleh: Mohamad
Abdil Fatah Mansur
ABSTRAK
Slametan adalah
upacara keagamaan yang umum dilakukan orang di dunia, namun slametan ini adalah versi Jawanya. Slametan melambangkan kesatuan mistis
dan sosial mereka yang ikut di dalamnya.
Slametan di
dalam masyarakat Desa Sedayugunung merupakan suatu upacara adat yang rutin
diadakan serta sebagai pencipta kerukunan antar masyarakat. Di dalam slametan tersebut tersisipi budaya
Hindu-Budha yang berkembang sejak zaman kerajaan di Indonesia yang
berakulturasi dengan budaya Islam Jawa. Kedua budaya tersebut mengalami
pertemuan dan menjadi satu dalam upacara slametan,
sehingga jika dilihat dalam perspektif budaya islam slametan bukan hal yang wajar, tentunya juga dengan budaya
Hindu-Budha. Selain menunjukkan kesadaran kemajemukan budaya sebagai ciri
khas masyarakat berbudaya majemuk
(multikultural), slametan di Desa
Sedayugunung juga menjelaskan adanya
keberlangsungan kehidupan masyarakat dengan melaksanakan tata kehidupan
masyarakat berbudaya majemuk secara membaur dan menyatu.
Kata Kunci: Sosio-kultural, Slametan, Sedayugunung, Kejawen
PENDAHULUAN
Di pusat seluruh
sistem keagamaan masyarakat Jawa terdapat suatu upacara yang sederhana, formal,
tidak dramatis, dan hampir-hampir mengandung rahasia yakni upacara slametan. Slametan adalah upacara
keagamaan yang umum dilakukan orang di dunia, namun slametan ini adalah versi Jawanya. Slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut
di dalamnya. Handai-Taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah
setempat, nenek moyang yang sudah mati, dan dewa-dewa yang hampir terlupakan
semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja karena mereka terikat dalam satu
kelompok sosial yang diwajibkan untuk saling tolong-menolong dan bekerja sama
(Geertz, 1983: 13).
Berdasarkan bidang kajianya, sosiolinguistik
memiliki hubungan dengan slametan yaitu
masuk ke dalam ragam atau variasi bahasa yang tergolong sebagai ragam bahasa frozen atau gaya beku. Maksudnya,
pembentukan tidak pernah berubah dari masa ke masa dan oleh siapapun.
Dalam kehidupan
sosial-budaya masyarakat Jawa, slametan
dapat digunakan untuk semua hajat yang berhubungan dengan semua kejadian untuk
memperingati, menebus, atau menyucikan suatu hal. Jenis
slametan juga ada beberapa macam yang
sengaja digolong-golongkan dalam penjabaranya yaitu slametan kelahiran, slametan kematian,
pernikahan, naik haji, kesehatan, dan lain-lain.
Dalam
upacara slametan, juga tentunya terdapat doa-doa yang dipanjatkan
sesuai dengan hajat dari slametan itu
sendiri. Doa-doa tersebut diucapkan dengan seorang yang dituakan
dalam daerah tersebut, dan memiliki kemampuan tentang doa itu secara khusus.
Doa itu diucapkan menggunakan
bahasa Jawa Krama,
dan dalam setiap doa di setiap slametan yang berbeda mempunyai istilahnya
masing-masing yang khas sesuai dengan piranti-piranti slametan yang menjadi prasyarat dalam slametan itu. Doa tersebut juga memiliki kekhasan yang
berbeda dari lainya dan menjadi kekuatan tersendiri bagi penuturnya. Kehasan tersebutlah
yang menarik untuk diteliti. Pertanyaan-pertanyaan mengenai seperti apa
sebenarnya wujud, maksud dan mengapa kekhasan tersebut
ada dalam doa-doa slametan masih belum banyak diketahui
dan belum banyak diangkat kedalam ranah akademis, maka dari itu peneliti akan
menggunakan aspek-aspek kebahasaan yang khas dalam doa slametan sebagai topik utama pembahasan
dalam penelitian ini.
Berdasarkan hal
tersebut peneliti ingin mengungkap, bagaimanakah pertemuan
antara kedua budaya yang dikaji dari aspek sosio-kultural yang melingkupi
upacara slametan. Penelitian ini membahas tentang
sosio-kultural dalam slametan di Desa Sedayugunung, Kecamatan Besuki,
Kabupaten Tulungagung.
ASPEK
SOSIO-KULTURAL DALAM SELAMETAN
Aspek
sosio-kutural yang terdapat pada slametan
dapat diketahui dari lingkungan masyarakat sekitar, partisipan slametan, dan isi doa slametan. Aspek sosio-kultural yang dilihat
dari lingkungan masyarakat sekitar dusun Nguluh digunakan sebagai pandangan
utuh posisi-posisi partisipan, isi doa dan ritual slametan itu sendiri di tengah masyarakatnya. Partisipan slametan terdiri dari penutur doa atau
pemimpin slametan, mitra tuturnya
yaitu tamu undangan, dan penghajat yang menyelenggarakan slametan itu. Dilihat dari segi partisipan slametan, dalam hal ini penuturnya, eksplorasi aspek sosio-kultural dapat dimulai dari gender penutur, usia,
pengalaman sebagai pemimpin slametan,
dan kronologis kepemilikan ilmu-ilmu kejawen sehingga ia dapat menuturkan
doa-doa slametan. Aspek
sosio-kultural dari mitra tutur yang tergabung dalam tamu-tamu undangan dapat
diketahui dari alasan kedatangannya dalam ritual slametan. Sementara itu, aspek sosio-kultural dari segi penghajat
dapat diketahui dari hal-hal yang mendorong ia melakukan slametan tersebut. Sedangkan penelusuran aspek sosio-kultural dari
isi doa dapat dikomparasikan dengan aspek-aspek kebahasaan yang telah
dianalisis pada poin sebelumnya. Berikut adalah penjelasan ketiga hal pembentuk
konteks sosio-kultural slametan di
dusun Nguluh.
LINGKUNGAN
MASYARAKAT SEKITAR
Masyarakat dusun
Nguluh, desa Sedayu Gungung, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung ini adalah
masyarakat pedesaan yang agraris. Mayoritas warganya bekerja sebagai petani,
sebagian ada yang bekerja sebagai pencari batu marmer, beberapa lainnya menjadi
guru. Rata-rata latar belakang pendidikan orang-orang tua yang berusia 60 tahun
keatas adalah Sekolah Rakyat (SR), sedangkan para pemuda dan orang-orang yang
berusia 59 tahun latar belakang pendidikannya adalah Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), namun beberapa telah menempuh Perguruan
Tinggi. Mengenai status sosial dari segi ekonomi, masyarakat dusun Nguluh
terdiri dari masyarakat kelas menengah ke bawah. Di dusun Nguluh semua warganya
beragama Islam, namun masih mempercayai mistisisme Jawa. Sehingga ritual-ritual
kejawen yang dilakukan oleh masyarakat abangan masih banyak dilakukan di dusun
nguluh, diantaranya adalah ritual slametan.
Di dusun Nguluh ritual slametan
tergolong sering dilakukan untuk memperingati, meminta, atau mengkuduskan
sesuatu hal. Sebab dapat dipastikan setiap rumah di dusun Nguluh pernah
melakukan slametan.
Dalam
menyelenggarakan slametan, tuan rumah
meminta bantuan pinisepuh di lingkungannya untuk memimpin jalannya slametan. Pinisepuh atau tetua di dusun
Nguluh ialah Mbah Karijan yang
dipercaya masyarakat dapat mengucapkan doa-doa sesuai dengan slametannya. Dalam masyarakat dusun Nguluh,
Mbah Karijan dipandang sebagai warga
biasa yang secara ekonomi dapat diklasifikasikan kedalam kelas bawah, dan tidak
menjabat di posisi apapun di desa. Namun prestisenya naik karena ia sering
dijadikan pemimpin slametan. Setelah
meminta bantuan pini sepuh, tuan rumah akan mengundang tetangga-tetangga dekat
untuk menghadiri ritual slametan
tersebut sebagai saksi penghajatan. Setelah semua siap, barulah ritual slametan dimulai dengan dipimpin oleh
pini sepuh. Pada tahap ini pini sepuh mengucapkan doa-doa dalam bahasa Jawa.
Bahasa Jawa dalam doa slametan ini
tidak sama dengan bahasa yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dusun Nguluh menggunakan bahasa Jawa Ngoko untuk berkomunikasi dengan sesama
teman, dan bahasa Jawa Krama untuk
berkomunikasi dengan orang yang lebih tinggi posisinya.
PARTISIPAN
SLAMETAN
Seperti yang telah dijelaskan pada
uraian diatas, partisipan dalam slametan
ini adalah penghajat yang menyelenggarakan ritual slametan, pemimpin ritual slametan
sebagai yang menuturkan doa, dan para tamu undangan yang dalam pertuturan
berperan sebagai mitra tutur. Berikut adalah penjelasannya.
1.
Penghajat
Ritual Slametan
Pada dasarnya, slametan digunakan untuk memperingati,
meminta atau mengkuduskan suatu hal. Dalam hal ini, penghajat menyelenggarakan slametan bertujuan untuk meminta
keselamatan anaknya. Slametan memiliki
tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu
juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak). Dalam tradisi slametan, unsur yang dicari bukanlah
makan bersama di tempat si empunya hajat, melainkan oleh-oleh berupa berkat
(berkah) yang diyakini sebagai makanan “bertuah.”
Selain itu, slametan
juga dilakukan apabila mereka mempunyai niat atau hajat tertentu, ketika akan
membangun rumah, pindah rumah, menyelenggarakan pesta perkawinan, kehamilan
anak pertama. Di samping itu juga untuk memperingati keluarga yang meninggal. Slametan untuk memperingati keluarga
yang meninggal ini dilakukan untuk memperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1
tahun, dan 1000 harinya. Slametan untuk memperingati orang yang
meninggal biasanya disertai membaca dzikir dan bacaan thoyyibah tahlil,
sehingga slametan ini biasa juga disebut tahlilan. Selain itu
kelahiran juga termasuk dalam alasan masyarakat melaksanakan slametan.
2.
Pemimpin
Ritual Slametan (Penutur Doa)
Seperti
yang telah diketahui dari data identitas, informan yang bernama Mbah Karijan merupakan tetua yang
dipercaya untuk memimpin jalannya ritual slametan.
Kepercayaan masyarakat tidak tiba-tiba saja diberikan. Ada
pertimbangan-pertimbangan tertentu mengapa Mbah
Karijan memperoleh kepercayaan masyarakat yang kemudian mengangkat status
sosialnya tersebut. Pertimbangan-pertimbanganya antara lain sebagai berikut.
a.
Aspek
gender
Singgih Wibisono (dalam,
Putraningsih) seorang ahli kesusastraan Jawa berkata,“Dalam tradisi Jawa, ayah
memiliki otoritas yang paling tinggi dalam sebuah keluarga.” Dari pernyataan
tersebut dapat diketahui bahwa laki-laki merupakan seorang kepala atau pemimpin
keluarga yang mempunyai kekuasaan penuh atas kelangsungan hidup keluarganya.
Dalam artian, laki-laki adalah penanggung jawab keluarga baik dilingkungan
dalam rumah maupun luar rumah. Sehingga semua kegiatan luar rumah yang bersifat
sosial diwakili oleh kepala rumah tangga yang merupakan seorang laki-laki.
Sedangkan dalam perspektif masyarakat Jawa, tugas perempuan adalah tiga hal,
yaitu masak, macak, manak, yang
artinya adalah masak, berdandan, dan melahirkan keturunan. Secara tidak
langsung, dapat disimpulkan bahwa laki-laki berperan sebagai kepala rumah
tangga, sedangkan perempuan berperan sebagai pelaksana kelangsungan hidup
keluarga di dalam rumah. Karena di dalam rumah tugas laki-laki adalah
sebagaikepala keluarga, maka di luar rumah pun laki-laki dianggap lebih mampu
menjadi sosok pemimpin yang disegani dari pada seorang perempuan.
pandangan-pandangan masyarakat Jawa itulah yang melatar belakangi mengapa
kepercayaan dalam memimpin slametan
diberikan kepada seorang laki-laki, dan bukan perempuan. Dalam ritual slametan, tugas perempuan selesai pada
tahap memasak makanan-makanan yang akan disajikan sebagai hidangan asahan, setelah itu ritual akan
dilaksanakan oleh para tamu undangan dan pemimpin slametan yang semuanya merupakan laki-laki perwakilan dari setiap
rumah.
b.
Usia
Sesuai
dengan data identitas informan, Mbah Karijan
berusia 76 tahun. Bagi masyarakat indonesia, usia tersebut sudah bisa dikatakan
usia lanjut. Sebab pada umumnya klasifikasi usia lanjut di Indonesia ialah pada
tataran 65 tahun keatas (Suprayogi, 2010). Dengan usianya yang lanjut
masyarakat percaya bahwa telah banyak pengalaman dan tirakat yang telah ia
lakukan selama hidupnya. Hal ini pulalah yang menjadikan penutur doa slametan di dusun Nguluh ini sebagi
tetua dusun yang disegani dalam masyarakat.
c.
Pengalaman
Pengalaman
Mbah Karijan menjadi pemimpin ritual slametan di dusun Nguluh adalah tiga
puluh tujuh tahun sejak ia mempelajari ilmu-ilmu kejawen dari nenek moyangnya.
Selama tiga puluh tujuh tahun ini ilmu-ilmu kejawen yang telah dipraktekkan
antara lain memimpin berbagai jenis slametan
dilingkungan desa Sedayugunung, membantu masyarakat sekitar desa Sedayugunung
dalam penghitungan dan pemilihan hari baik untuk melakukan sesuatu, dan
mengucapkan mantra-mantra, diantaranya adalah mantra aji pengasihan. Pengalaman
tiga puluh tujuh tahun sebagai orang yang membantu masyarakat sekitar desa
Sedayugunung dalam hal yang bersifat kejawen dirasa sudah cukup lama untuk
mendapatkan kepercayaan masyarakat sebagai tetua dusun Nguluh, desa
Sedayugunung.
d.
Kepemilikan
Ilmu-ilmu Kejawen
Mbah Karijan
mempunyai doa slametan dan ilmu-ilmu
kejawen lain yang tidak semua orang dapat memilikinya bahkan mempelajarinya.
Doa dan ilmu-ilmu kejawen tersebut diperoleh secara turun menurun dari nenek
moyangnya. Untuk dapat mempelajarinya pun seseorang harus memenuhi persyaratan yang
diberlakukan. Persyaratan itu adalah seseorang harus sudah menikahkan anaknya,
barulah ia dapat mempelajari doa-doa slametan
dan ilmu kejawen lainnya, seperti penghitungan hari baik dan mantra-mantra
jawa. Mbah Karijan merupakan
satu-satunya orang yang memiliki ilmu-ilmu kejawen, sehingga adalah hal yang
wajar jika masyarakat menaruh kepercayaan kepada Mbah Karijan untuk dipilih sebagai pemimpin slametan.
3.
Para
Tamu Undangan (Mitra Tutur)
Menurut Wahyudi (2011:
13) slametan merupakan kegiatan
komunal masyarakat jawa yang sering digambarkan sebagai pesta ritual, baik
upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar hingga
upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Karena slametan merupakan kegiatan komunal masyarakat maka yang punya
hajat akan mengundang para tetangga untuk mengikuti ritual tersebut. Sehingga
para tamu ini datang ke ritual slametan
yang pertama karena mereka telah diundang oleh tuan rumah. Jika undangan
tersebut tidak mereka hadiri, rasa segan akan muncul di kehidupan sosial
mereka. Keseganan itu dikarenakan mereka adalah para tetangga dekat
dilingkungan pedesaan. Pada lingkungan pedesaan rasa kebersamaan dan
kekeluargaan antar warga masih sangat kental, sehingga jika mereka tidak datang
karena alasan yang tidak jelas itu sama saja dengan tidak mau saat dimintai
pertolongan. Selain itu rasa segan juga muncul ketika tidak menghadiri ritual slametan itu berarti mereka tidak
membalas atau tidak melakukan timbal balik karena di waktu sebelumnya tuan
rumah telah menghadiri undangan ritual slametan
yang ia buat. Ditambah lagi, ketika mereka memang benar-benar tidak menghadiri
undangan tersebut mereka akan tetap menerima berkat (makanan yang dibagikan
setelah ritual selesai) yang diantarkan langsung oleh tuan rumah setelah acara
selesai. Lagi pula, mayoritas masyarakat dusun Nguluh bekerja sebagai petani,
sehingga bagi mereka setelah maghrib adalah waktu senggang, sehingga mendatangi
sebuah ritual slametan bukanlah hal
yang merepotkan.
Para
tamu undangan yang datang dalam slametan
berperan sebagai saksi atas pengikraran doa yang ditujukan kepada
makanan-makanan yang akan disedekahkan pada semua tamu undangan dengan cara
mengamini doa-doa yang telah diucapkan oleh pemimpin slametan. Jika para mitra tutur ini tidak datang, maka ritual slametan ini akan sia-sia karena tidak
disaksikan oleh orang banyak. Apa yang diharapkan oleh para undangan dengan
mendatangi ritual slametan ini adalah
berkat yang akan mereka terima setelah ritual selesai. Berkat merupakan makanan
yang telah didoai dan dipercaya sebagai makanan bertuah. Selain itu, bagi para tamu undangan mengikuti
sebuah ritual slametan adalah sebuah
cara untuk merekatkan tali persaudaraan dan ajang silaturahmi antar tetangga,
karena dalam ritual terdapat acara makan bersama yang dijadikan media
berbincang-bincang. Dalam acara makan bersama ini tidak seorang pun akan
dibedakan, semuanya dianggap sama atau setara, tidak ada yang lebih tinggi
ataupun lebih rendah walaupun mereka mempunyai latar belakang yang berbeda.
4. Isi Doa Slametan
Dalam
isi doa slametan yang dituturkan oleh
tetua dusun setempat terdapat banyak hal yang mengimplikasikan aspek
sosio-kultural masyarakatnya. Antara lain dari aspek verbal dan non verbal pada
saat pengucapan doa slametan itu
terjadi. Aspek verbal yaitu dari segi kebahasaan pada saat pengucapannya.
Sedangkan aspek non verbal meliputi penyimbolan-penyimbolan yang ada dalam
ritual slametan. Berikut pemaparan
aspek sosio-kultural dilihat dari isi doa.
PERILAKU
VERBAL
Perilaku
verbal dalam hal ini adalah pengucapan atau penuturan doa itu sendiri. Dalam
pengucapan doa terdapat kemunculan-kemunculan kebahasaan yang mempunyai
implikasi besar dalam aspek sosio kultural. Diantaranya yaitu pengucapan doa
dengan tingkat tutur yang berbeda, penyebutan tokoh-tokoh religius Islam,
penekanan-penekanan kata dalam doa, dan pengucapan doa dengan intonasi yang
cepat.
Bentuk
Penuturan
Secara
harfiah, doa adalah permohonan kepada Tuhan. Tuhan merupakan sentral yang
mempunyai kedudukan tertinggi dalam suatu kepercayaan yang dimiliki oleh
seseorang. Manusia yang berdoa sejatinya adalah manusia sebagai hamba kecil
yang memohon kepada tuannya. Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan adalah
komunikasi vertikal. Dari penggambaran kedudukan tersebut dapat diketahui bahwa
seharusnya bahasa-bahasa yang digunakan
untuk memohon kepada Tuhan adalah bahasa dengan kalimat-kalimat
imperatif yang santun. Namun dalam doa slametan
yang diucapkan dalam bahasa Jawa ini ditemukan semua tingkat tutur yang ada
dalam bahasa Jawa, yaitu ngoko (tingkatan terendah) sejumlah 58 kata, krama
madya (tingkatan kedua) sejumlah 131 kata, krama (tingkatan ketiga) sejumlah 151 kata, dan
krama inggil (tingkatan tertinggi) sejumlah 1 kata dai 383 kata dalam doa. Dari
data tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan krama lebih mendominasi dalam
penuturan doa slametan yang memiliki
fungsi sebagai usaha merendahkan diri pada sag pencipta dan berharap
keinginanya akan terkabul.
Penyebutan
Tokoh Religius
Setting slametan
berada di daerah yang 100% masyarakatnya memeluk agama Islam. Sehingga
bentuk-bentuk adat-istiadat dan kebudayaan Jawa telah diakulturasikan dengan
agama Islam. Pengakulturasian tersebut sangat terlihat pada doa-doa yang
dihajatkan oleh pemimpin slametan.
Lihatlah kutipan doa berikut ini.
DB/BII/K2
“Kajatipun engkang werni sekul suci ulam sari hormat dumateng junjungan kita Nabi Muhammad SAW sak garwa lan putranipun sedaya.”
(Hajatnya yang berupa nasi suci ikan sari hormat kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW beserta istri dan putranya semua.)
“Kajatipun engkang werni sekul suci ulam sari hormat dumateng junjungan kita Nabi Muhammad SAW sak garwa lan putranipun sedaya.”
(Hajatnya yang berupa nasi suci ikan sari hormat kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW beserta istri dan putranya semua.)
Dalam
kutipan di atas terdapat penyebutan tokoh utama agama Islam yaitu Nabi Muhammad
SAW. Lebih dalam dari sekedar penyebutan, dari konteks kalimatnya dapat dilihat
bahwa salah satu piranti slametan
yang diucapkan pertama kali adalah sekul
suci ulam sari yaitu nasi uduk dengan ingkung
lodho (ayam utuh yang diolah dan menjadi makanan khas Kota Tulungagung)
disajikan khusus untuk Nabi Muhammad SAW dan semua keluarganya.
Dari
data lain juga ditemukan repetisi kalimat imperatif dalam bentuk harapan yang
ditujukan kepada Tuhan agama Islam yaitu Allah SWT. Repetisi kalimat ini ditemukan di lima bagian
dari awal hingga akhir doa kecuali di bagian pertama dan keenam. Berikut adalah
kutipan repetisi tersebut.
“Mugi-mugi
Allah Ta’ala maringana barokah
kawilujengan dumateng Fatah.”
(Semoga Allah SWT memberikan barokah keslametan kepada Fatah.)
DB/BII/K3
(Semoga Allah SWT memberikan barokah keslametan kepada Fatah.)
DB/BII/K3
“Mugi-mugi Allah Ta’ala maringana barokah kawilujengan.”
(Semoga Allah SWT memberikan barokah keslametan.)
DB/BIII/K3
(Semoga Allah SWT memberikan barokah keslametan.)
DB/BIII/K3
“Kintun donga mugi-mugi Allah Ta’ala maringana barokah
kawilujengan dumateng Fatah.”
(Kirim doa, semoga Allah SWT memberikan barokah dan keslametan kepada Fatah.)
(DB/BIV/K3)
(Kirim doa, semoga Allah SWT memberikan barokah dan keslametan kepada Fatah.)
(DB/BIV/K3)
“Dipun brokohi sekul brok mugi-mugi
Allah Ta’ala maringana kawilujengan
dumateng Fatah.”
(Diselamati sekul brok semoga Allah SWT memberikan keslametan)
(DB/BV/K3)
(Diselamati sekul brok semoga Allah SWT memberikan keslametan)
(DB/BV/K3)
“Mugi-mugi Allah Ta’ala maringana barokah keslametan kawilujengan dateng
Fatah”
(Semoga Allah SWT memberikan barokah dan keslametan kepada Fatah.)
(DB/BVII/K3)
(Semoga Allah SWT memberikan barokah dan keslametan kepada Fatah.)
(DB/BVII/K3)
Repetisi-repetisi
kalimat imperatif di atas merupakan penekanan pengharapan atas slametan yang sedang diselenggarankan
setelah menyajikan makanan-makanan asahan
sebagai penyimbolan. Repetisi di atas dimaksudkan untuk memohon keselamatan
kepada Sang Pencipta atau Tuhan agama Islam yaitu Allah SWT. Permohonan
keselamatan inilah yang menjadi inti dari slametan
yang diselenggarakan.
“Kajatipun engkang
werni sekul memule ketan kolak punika empun lumintun donga dumaten para leluhur kita engkang sampun sare
turunan sakinng Kaki-Nini, saking Bapa, saking Biyung, jaler-istri, ageng-alit,
sedaya leluhur engkang manggen wonten pundi kemawon.”
Selain
menyebutkan tokoh religi dan Tuhan agama Islam, dalam doa juga ditemukan
penyebutan leluhur-leluhur yang telah meninggal seperti pada kutipan di atas.
Penyebutan tersebut tidak lepas dari pandangan masyarakat Jawa yang meyakini
adanya makhlik halus dan roh-roh leluhur. Jadi, upacara pemanjatan doa yang
dilakukan oleh masyarakat Islam di dusun Nguluh dengan cara kejawen ini
sebenarnya tetap merujuk kepada falsafah islam, dan berdoa memohon kepada Tuhan
agama Islam yaitu Allah SWT, namun pada saat yang sama mereka juga meyakini
eksistensi makhluk halus, dan roh-roh leluhur. Dapat disimpulkan bahwa sistem
keyakinan Islam Kejawen ini merupakan proses panjang akulturasi tatanan nilai
Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur
dengan budaya Hindu.
Simbol
Bentuk-bentuk simbol dalam ritual slametan ini
merupakan piranti-piranti slametan yang menjadi syarat hajatan. Simbol-simbol
yang berbentuk makanan disebut dengan sesaji atau asahan. Penyimbolan sesaji inilah yang dominan ada dalam ritual
slametan. Sesaji ini selalu menyimbolkan sesuatu yang menjadi tujuan slametan.
Berikut adalah simbol-simbol yang ada dalam slametan.
-
Sekul
suci ulam sari
Sekul suci ulam
sari
adalah sesaji yang berupa sego gurih (nasi
uduk) yang diatasnya diberi ingkung
ayam lodho. Sesaji ini adalah sesaji
yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam. Penggunaan
sesaji ini adalah sebuah harapan untuk mendapatkan petunjuk dari Nabi agar
doa-doanya dikabulkan oleh Allah. Lodho sego gurih berasal dari kata tuladha
yang bermakna contoh. Hal itu dimaksudkan bahwa Nabi Muhammad adalah tuntunan
kita (umat Islam) memberi tuntunan yang baik untuk ritual.
-
Jenang
Sepuh
Jenang sepuh adalah
bubur beras ketan yang berwarna merah. Pengadaan bubur ini melambangkan
kebahagiaan dan keselamatan bagi yang punya hajat.
-
Iwel-iwel
Iwel-iwel merupakan
jajanan pasar yang berupa adonan tepung ketan yang di dalamnya berisi parutan
kelapa dan gula merah. Iwel-iwel ini
melambangkan kebersihan dan kesucian jiwa.
-
Golong
Gangsal
Golong gangsal
merupakan Sego golong yang berjumlah
lima buah. Sego golong ini bermakna
kemajemukan waktu dan hari. Sejak masih dalam rahim sang ibu, manusia
dibayang-bayangi oleh Naga Kala atau bahaya. Ketika manusia telah lahir, maka
harus berhati-hati pula karena segala penjuru mata angin selalu ada Naga Kala. Oleh karena itu, manusia
memiliki ancaman bahaya pada waktu, hari, minggu, bulan dan tahun tertentu.
Sehingga manusia berusaha untuk meminta keselamatan dengan menggunakan sego
golong yang berarti mengumpulkan hari, minggu, bulan dan tahun kemudian hari
yang digunakan untuk ritual sehingga yang bersangkutan diberikan keselamatan
atas semua waktu tersebut.
-
Buceng
Kuat
Buceng kuat
adalah buceng yang bagian ujungnya berupa ketan. Buceng ini merupakan simbol
kekuatan. Makna dari buceng kuat adalah masyarakat meminta keselamatan,
kekuatan dalam kehidupan. Dalam kaitannya dengan hal ini, sesajian golong
gangsal yang diperuntukkan bagi Yang Kuasa dengan tujuan menyenangkan mereka
disebut Selamatan. Makna sego golong adalah menyatukan tujuh hari, tujuh malam,
lima pasaran, tiga puluh hari, dua belas bulan, empat minggu, tepatnya di hari
itu (Minggu pon). Sego golong bermakna kemajemukan waktu dan hari. Sejak masih
dalam rahim sang ibu, manusia dibayang-bayangi oleh Naga Kala atau bahaya.
Ketika manusia telah lahir, maka harus berhati-hati pula karena segala penjuru
mata angin selalu ada Naga Kala yang membawa kesialan. Oleh karena itu, manusia
memiliki ancaman bahaya pada waktu, hari, minggu, bulan dan tahun tertentu.
Sehingga manusia berusaha untuk meminta keselamatan dengan menggunakan sego
golong yang berarti mengumpulkan hari, minggu, bulan dan tahun kemudian hari
yang digunakan untuk ritual sehingga yang bersangkutan diberikan keselamatan
atas semua waktu tersebut.
-
Kembang
Setaman
Kembang
setaman dalam ritual sebagai simbol penyiram penghuni dusun Nguluh agar
tenteram, dan simbol penyambung kehidupan yang memiliki hajat.
DAFTAR
RUJUKAN
Chaer, A. 2008. Moefologi
Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta.
Geertz, C. 1983.
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa.Terjemahan oleh Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jawa.
Nugraheni, Y.
2009. Analisis Reduplikasi Bahasa Jawa
pada Novel Dom Sumurup Ing Banyu.
Phuspita, F.
2010. Sistem Kepercayaan Adat Kehamilan
dan Kelahiran di dalam Masyarakat Jawa dalam Teks Platenalbum 30. (Online),
diakses 29 November 2013.
Ramlan. 2009. Morfologi:
Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: C. V Karyono.
Sumarsono. 2012. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widodo, W. 2013.
Analisis Wacana Mantra Jawa. (Online),
(http://www.academica.edu/1478599/Discourse_of_Javanise_mantra_In-depth_study_on_kidung_rumeksa_ing_wengi_lexical_and_gramatical_aspects_#), diakses 3 Desember 2013.
Ula, M. 2010. Tradisi Munggah Molo dalam Perspektif
Antropologi Linguistik. Jurnal Penelitian, Vol 7, No 2.
Putraningsih, T.
2010. Pertunjukan Tari: Sebuah Kajian
Perspektif Gender (Jurnal Ilmiah).
Suprayogi, D.
2010. Sejahtera di Usia Senja Dimensi
Psikoreligi pada Lanjut Usia (Jurnal Ilmiah).
Wahyudi. 2011. Islam
dan Nilai-nilai Budaya Lokal di Jawa (Jurnal Ilmiah).
Kamus Online Bahasa Jawa krama inggil alus disajikan dalam peruntukan membantu dan memudahkan Orang-orang yang ingin dalam mencari terjemahan bahasa jawa secara realtime.
BalasHapusArtikel yg sangat baik dan bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang adat Jawa yg unik.
BalasHapus