Minggu, 19 Januari 2014

PERTEMUAN BUDAYA ISLAM – KEJAWEN DALAM UPACARA SLAMETAN DI DESA SEDAYUGUNUNG, BESUKI, TULUNGAGUNG: SEBUAH KAJIAN SOSIO-KULTURAL



Oleh: Mohamad Abdil Fatah Mansur

ABSTRAK

Slametan adalah upacara keagamaan yang umum dilakukan orang di dunia, namun slametan ini adalah versi Jawanya. Slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya. Slametan di dalam masyarakat Desa Sedayugunung merupakan suatu upacara adat yang rutin diadakan serta sebagai pencipta kerukunan antar masyarakat. Di dalam slametan tersebut tersisipi budaya Hindu-Budha yang berkembang sejak zaman kerajaan di Indonesia yang berakulturasi dengan budaya Islam Jawa. Kedua budaya tersebut mengalami pertemuan dan menjadi satu dalam upacara slametan, sehingga jika dilihat dalam perspektif budaya islam slametan bukan hal yang wajar, tentunya juga dengan budaya Hindu-Budha. Selain menunjukkan kesadaran kemajemukan budaya sebagai ciri khas  masyarakat berbudaya majemuk (multikultural), slametan di Desa Sedayugunung juga  menjelaskan adanya keberlangsungan kehidupan masyarakat dengan melaksanakan tata kehidupan masyarakat berbudaya majemuk secara membaur dan menyatu.

                  Kata Kunci: Sosio-kultural,  Slametan, Sedayugunung, Kejawen


PENDAHULUAN
Di pusat seluruh sistem keagamaan masyarakat Jawa terdapat suatu upacara yang sederhana, formal, tidak dramatis, dan hampir-hampir mengandung rahasia yakni upacara slametan. Slametan adalah upacara keagamaan yang umum dilakukan orang di dunia, namun slametan ini adalah versi Jawanya. Slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya. Handai-Taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati, dan dewa-dewa yang hampir terlupakan semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja karena mereka terikat dalam satu kelompok sosial yang diwajibkan untuk saling tolong-menolong dan bekerja sama (Geertz, 1983: 13).
Berdasarkan bidang kajianya, sosiolinguistik memiliki hubungan dengan slametan yaitu masuk ke dalam ragam atau variasi bahasa yang tergolong sebagai ragam bahasa frozen atau gaya beku. Maksudnya, pembentukan tidak pernah berubah dari masa ke masa dan oleh siapapun.
Dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Jawa, slametan dapat digunakan untuk semua hajat yang berhubungan dengan semua kejadian untuk memperingati, menebus, atau menyucikan suatu hal. Jenis slametan juga ada beberapa macam yang sengaja digolong-golongkan dalam penjabaranya yaitu slametan kelahiran, slametan kematian, pernikahan, naik haji, kesehatan, dan lain-lain.
Dalam upacara slametan, juga tentunya terdapat doa-doa yang dipanjatkan sesuai dengan hajat dari slametan itu sendiri. Doa-doa tersebut diucapkan dengan seorang yang dituakan dalam daerah tersebut, dan memiliki kemampuan tentang doa itu secara khusus. Doa itu diucapkan menggunakan bahasa Jawa Krama, dan dalam setiap doa di setiap slametan yang berbeda mempunyai istilahnya masing-masing yang khas sesuai dengan piranti-piranti slametan yang menjadi prasyarat dalam slametan  itu.  Doa tersebut juga memiliki kekhasan yang berbeda dari lainya dan menjadi kekuatan tersendiri bagi penuturnya. Kehasan  tersebutlah yang menarik untuk diteliti. Pertanyaan-pertanyaan mengenai seperti apa sebenarnya wujud, maksud dan mengapa kekhasan tersebut ada dalam doa-doa slametan masih belum banyak diketahui dan belum banyak diangkat kedalam ranah akademis, maka dari itu peneliti akan menggunakan aspek-aspek kebahasaan yang khas dalam doa slametan sebagai topik utama pembahasan dalam penelitian ini.
Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengungkap, bagaimanakah pertemuan antara kedua budaya yang dikaji dari aspek sosio-kultural yang melingkupi upacara slametan. Penelitian ini membahas tentang sosio-kultural dalam slametan  di Desa Sedayugunung, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung.

ASPEK SOSIO-KULTURAL DALAM SELAMETAN
Aspek sosio-kutural yang terdapat pada slametan dapat diketahui dari lingkungan masyarakat sekitar, partisipan slametan, dan isi doa slametan. Aspek sosio-kultural yang dilihat dari lingkungan masyarakat sekitar dusun Nguluh digunakan sebagai pandangan utuh posisi-posisi partisipan, isi doa dan ritual slametan itu sendiri di tengah masyarakatnya. Partisipan slametan terdiri dari penutur doa atau pemimpin slametan, mitra tuturnya yaitu tamu undangan, dan penghajat yang menyelenggarakan slametan itu. Dilihat dari segi partisipan slametan, dalam hal ini penuturnya, eksplorasi aspek sosio-kultural  dapat dimulai dari gender penutur, usia, pengalaman sebagai pemimpin slametan, dan kronologis kepemilikan ilmu-ilmu kejawen sehingga ia dapat menuturkan doa-doa slametan. Aspek sosio-kultural dari mitra tutur yang tergabung dalam tamu-tamu undangan dapat diketahui dari alasan kedatangannya dalam ritual slametan. Sementara itu, aspek sosio-kultural dari segi penghajat dapat diketahui dari hal-hal yang mendorong ia melakukan slametan tersebut. Sedangkan penelusuran aspek sosio-kultural dari isi doa dapat dikomparasikan dengan aspek-aspek kebahasaan yang telah dianalisis pada poin sebelumnya. Berikut adalah penjelasan ketiga hal pembentuk konteks sosio-kultural slametan di dusun Nguluh.
LINGKUNGAN MASYARAKAT SEKITAR
Masyarakat dusun Nguluh, desa Sedayu Gungung, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung ini adalah masyarakat pedesaan yang agraris. Mayoritas warganya bekerja sebagai petani, sebagian ada yang bekerja sebagai pencari batu marmer, beberapa lainnya menjadi guru. Rata-rata latar belakang pendidikan orang-orang tua yang berusia 60 tahun keatas adalah Sekolah Rakyat (SR), sedangkan para pemuda dan orang-orang yang berusia 59 tahun latar belakang pendidikannya adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), namun beberapa telah menempuh Perguruan Tinggi. Mengenai status sosial dari segi ekonomi, masyarakat dusun Nguluh terdiri dari masyarakat kelas menengah ke bawah. Di dusun Nguluh semua warganya beragama Islam, namun masih mempercayai mistisisme Jawa. Sehingga ritual-ritual kejawen yang dilakukan oleh masyarakat abangan masih banyak dilakukan di dusun nguluh, diantaranya adalah ritual slametan. Di dusun Nguluh ritual slametan tergolong sering dilakukan untuk memperingati, meminta, atau mengkuduskan sesuatu hal. Sebab dapat dipastikan setiap rumah di dusun Nguluh pernah melakukan slametan.
Dalam menyelenggarakan slametan, tuan rumah meminta bantuan pinisepuh di lingkungannya untuk memimpin jalannya slametan. Pinisepuh atau tetua di dusun Nguluh ialah Mbah Karijan yang dipercaya masyarakat dapat mengucapkan doa-doa sesuai dengan slametannya. Dalam masyarakat dusun Nguluh, Mbah Karijan dipandang sebagai warga biasa yang secara ekonomi dapat diklasifikasikan kedalam kelas bawah, dan tidak menjabat di posisi apapun di desa. Namun prestisenya naik karena ia sering dijadikan pemimpin slametan. Setelah meminta bantuan pini sepuh, tuan rumah akan mengundang tetangga-tetangga dekat untuk menghadiri ritual slametan tersebut sebagai saksi penghajatan. Setelah semua siap, barulah ritual slametan dimulai dengan dipimpin oleh pini sepuh. Pada tahap ini pini sepuh mengucapkan doa-doa dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa dalam doa slametan ini tidak sama dengan bahasa yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dusun Nguluh menggunakan bahasa Jawa Ngoko untuk berkomunikasi dengan sesama teman, dan bahasa Jawa Krama untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tinggi posisinya.
PARTISIPAN SLAMETAN
            Seperti yang telah dijelaskan pada uraian diatas, partisipan dalam slametan ini adalah penghajat yang menyelenggarakan ritual slametan, pemimpin ritual slametan sebagai yang menuturkan doa, dan para tamu undangan yang dalam pertuturan berperan sebagai mitra tutur. Berikut adalah penjelasannya.
1.      Penghajat Ritual Slametan  
Pada dasarnya, slametan digunakan untuk memperingati, meminta atau mengkuduskan suatu hal. Dalam hal ini, penghajat menyelenggarakan slametan bertujuan untuk meminta keselamatan anaknya. Slametan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak). Dalam tradisi slametan, unsur yang dicari bukanlah makan bersama di tempat si empunya hajat, melainkan oleh-oleh berupa berkat (berkah) yang diyakini sebagai makanan “bertuah.”
            Selain itu, slametan juga dilakukan apabila mereka mempunyai niat atau hajat tertentu, ketika akan membangun rumah, pindah rumah, menyelenggarakan pesta perkawinan, kehamilan anak pertama. Di samping itu juga untuk memperingati keluarga yang meninggal. Slametan untuk memperingati keluarga yang meninggal ini dilakukan untuk memperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, dan 1000 harinya. Slametan untuk memperingati orang yang meninggal biasanya disertai membaca dzikir dan bacaan thoyyibah tahlil, sehingga slametan ini biasa juga disebut tahlilan. Selain itu kelahiran juga termasuk dalam alasan masyarakat melaksanakan slametan.
2.      Pemimpin Ritual Slametan (Penutur Doa)
Seperti yang telah diketahui dari data identitas, informan yang bernama Mbah Karijan merupakan tetua yang dipercaya untuk memimpin jalannya ritual slametan. Kepercayaan masyarakat tidak tiba-tiba saja diberikan. Ada pertimbangan-pertimbangan tertentu mengapa Mbah Karijan memperoleh kepercayaan masyarakat yang kemudian mengangkat status sosialnya tersebut. Pertimbangan-pertimbanganya antara lain sebagai berikut.
a.      Aspek gender
Singgih Wibisono (dalam, Putraningsih) seorang ahli kesusastraan Jawa berkata,“Dalam tradisi Jawa, ayah memiliki otoritas yang paling tinggi dalam sebuah keluarga.” Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa laki-laki merupakan seorang kepala atau pemimpin keluarga yang mempunyai kekuasaan penuh atas kelangsungan hidup keluarganya. Dalam artian, laki-laki adalah penanggung jawab keluarga baik dilingkungan dalam rumah maupun luar rumah. Sehingga semua kegiatan luar rumah yang bersifat sosial diwakili oleh kepala rumah tangga yang merupakan seorang laki-laki. Sedangkan dalam perspektif masyarakat Jawa, tugas perempuan adalah tiga hal, yaitu masak, macak, manak, yang artinya adalah masak, berdandan, dan melahirkan keturunan. Secara tidak langsung, dapat disimpulkan bahwa laki-laki berperan sebagai kepala rumah tangga, sedangkan perempuan berperan sebagai pelaksana kelangsungan hidup keluarga di dalam rumah. Karena di dalam rumah tugas laki-laki adalah sebagaikepala keluarga, maka di luar rumah pun laki-laki dianggap lebih mampu menjadi sosok pemimpin yang disegani dari pada seorang perempuan. pandangan-pandangan masyarakat Jawa itulah yang melatar belakangi mengapa kepercayaan dalam memimpin slametan diberikan kepada seorang laki-laki, dan bukan perempuan. Dalam ritual slametan, tugas perempuan selesai pada tahap memasak makanan-makanan yang akan disajikan sebagai hidangan asahan, setelah itu ritual akan dilaksanakan oleh para tamu undangan dan pemimpin slametan yang semuanya merupakan laki-laki perwakilan dari setiap rumah.

b.      Usia
Sesuai dengan data identitas informan, Mbah Karijan berusia 76 tahun. Bagi masyarakat indonesia, usia tersebut sudah bisa dikatakan usia lanjut. Sebab pada umumnya klasifikasi usia lanjut di Indonesia ialah pada tataran 65 tahun keatas (Suprayogi, 2010). Dengan usianya yang lanjut masyarakat percaya bahwa telah banyak pengalaman dan tirakat yang telah ia lakukan selama hidupnya. Hal ini pulalah yang menjadikan penutur doa slametan di dusun Nguluh ini sebagi tetua dusun yang disegani dalam masyarakat.

c.       Pengalaman
Pengalaman Mbah Karijan menjadi pemimpin ritual slametan di dusun Nguluh adalah tiga puluh tujuh tahun sejak ia mempelajari ilmu-ilmu kejawen dari nenek moyangnya. Selama tiga puluh tujuh tahun ini ilmu-ilmu kejawen yang telah dipraktekkan antara lain memimpin berbagai jenis slametan dilingkungan desa Sedayugunung, membantu masyarakat sekitar desa Sedayugunung dalam penghitungan dan pemilihan hari baik untuk melakukan sesuatu, dan mengucapkan mantra-mantra, diantaranya adalah mantra aji pengasihan. Pengalaman tiga puluh tujuh tahun sebagai orang yang membantu masyarakat sekitar desa Sedayugunung dalam hal yang bersifat kejawen dirasa sudah cukup lama untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat sebagai tetua dusun Nguluh, desa Sedayugunung.
d.      Kepemilikan Ilmu-ilmu Kejawen
Mbah Karijan mempunyai doa slametan dan ilmu-ilmu kejawen lain yang tidak semua orang dapat memilikinya bahkan mempelajarinya. Doa dan ilmu-ilmu kejawen tersebut diperoleh secara turun menurun dari nenek moyangnya. Untuk dapat mempelajarinya pun seseorang harus memenuhi persyaratan yang diberlakukan. Persyaratan itu adalah seseorang harus sudah menikahkan anaknya, barulah ia dapat mempelajari doa-doa slametan dan ilmu kejawen lainnya, seperti penghitungan hari baik dan mantra-mantra jawa. Mbah Karijan merupakan satu-satunya orang yang memiliki ilmu-ilmu kejawen, sehingga adalah hal yang wajar jika masyarakat menaruh kepercayaan kepada Mbah Karijan untuk dipilih sebagai pemimpin slametan.
3.      Para Tamu Undangan (Mitra Tutur)
Menurut Wahyudi (2011: 13) slametan merupakan kegiatan komunal masyarakat jawa yang sering digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Karena slametan merupakan kegiatan komunal masyarakat maka yang punya hajat akan mengundang para tetangga untuk mengikuti ritual tersebut. Sehingga para tamu ini datang ke ritual slametan yang pertama karena mereka telah diundang oleh tuan rumah. Jika undangan tersebut tidak mereka hadiri, rasa segan akan muncul di kehidupan sosial mereka. Keseganan itu dikarenakan mereka adalah para tetangga dekat dilingkungan pedesaan. Pada lingkungan pedesaan rasa kebersamaan dan kekeluargaan antar warga masih sangat kental, sehingga jika mereka tidak datang karena alasan yang tidak jelas itu sama saja dengan tidak mau saat dimintai pertolongan. Selain itu rasa segan juga muncul ketika tidak menghadiri ritual slametan itu berarti mereka tidak membalas atau tidak melakukan timbal balik karena di waktu sebelumnya tuan rumah telah menghadiri undangan ritual slametan yang ia buat. Ditambah lagi, ketika mereka memang benar-benar tidak menghadiri undangan tersebut mereka akan tetap menerima berkat (makanan yang dibagikan setelah ritual selesai) yang diantarkan langsung oleh tuan rumah setelah acara selesai. Lagi pula, mayoritas masyarakat dusun Nguluh bekerja sebagai petani, sehingga bagi mereka setelah maghrib adalah waktu senggang, sehingga mendatangi sebuah ritual slametan bukanlah hal yang merepotkan.
Para tamu undangan yang datang dalam slametan berperan sebagai saksi atas pengikraran doa yang ditujukan kepada makanan-makanan yang akan disedekahkan pada semua tamu undangan dengan cara mengamini doa-doa yang telah diucapkan oleh pemimpin slametan. Jika para mitra tutur ini tidak datang, maka ritual slametan ini akan sia-sia karena tidak disaksikan oleh orang banyak. Apa yang diharapkan oleh para undangan dengan mendatangi ritual slametan ini adalah berkat yang akan mereka terima setelah ritual selesai. Berkat merupakan makanan yang telah didoai dan dipercaya sebagai makanan bertuah.  Selain itu, bagi para tamu undangan mengikuti sebuah ritual slametan adalah sebuah cara untuk merekatkan tali persaudaraan dan ajang silaturahmi antar tetangga, karena dalam ritual terdapat acara makan bersama yang dijadikan media berbincang-bincang. Dalam acara makan bersama ini tidak seorang pun akan dibedakan, semuanya dianggap sama atau setara, tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah walaupun mereka mempunyai latar belakang yang berbeda.
4.      Isi Doa Slametan
Dalam isi doa slametan yang dituturkan oleh tetua dusun setempat terdapat banyak hal yang mengimplikasikan aspek sosio-kultural masyarakatnya. Antara lain dari aspek verbal dan non verbal pada saat pengucapan doa slametan itu terjadi. Aspek verbal yaitu dari segi kebahasaan pada saat pengucapannya. Sedangkan aspek non verbal meliputi penyimbolan-penyimbolan yang ada dalam ritual slametan. Berikut pemaparan aspek sosio-kultural dilihat dari isi doa.
PERILAKU VERBAL
Perilaku verbal dalam hal ini adalah pengucapan atau penuturan doa itu sendiri. Dalam pengucapan doa terdapat kemunculan-kemunculan kebahasaan yang mempunyai implikasi besar dalam aspek sosio kultural. Diantaranya yaitu pengucapan doa dengan tingkat tutur yang berbeda, penyebutan tokoh-tokoh religius Islam, penekanan-penekanan kata dalam doa, dan pengucapan doa dengan intonasi yang cepat.
Bentuk Penuturan
Secara harfiah, doa adalah permohonan kepada Tuhan. Tuhan merupakan sentral yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam suatu kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang. Manusia yang berdoa sejatinya adalah manusia sebagai hamba kecil yang memohon kepada tuannya. Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi vertikal. Dari penggambaran kedudukan tersebut dapat diketahui bahwa seharusnya bahasa-bahasa yang digunakan  untuk memohon kepada Tuhan adalah bahasa dengan kalimat-kalimat imperatif yang santun. Namun dalam doa slametan yang diucapkan dalam bahasa Jawa ini ditemukan semua tingkat tutur yang ada dalam bahasa Jawa, yaitu ngoko (tingkatan terendah) sejumlah 58 kata, krama madya (tingkatan kedua) sejumlah 131 kata, krama  (tingkatan ketiga) sejumlah 151 kata, dan krama inggil (tingkatan tertinggi) sejumlah 1 kata dai 383 kata dalam doa. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan krama lebih mendominasi dalam penuturan doa slametan yang memiliki fungsi sebagai usaha merendahkan diri pada sag pencipta dan berharap keinginanya akan terkabul.
Penyebutan Tokoh Religius
Setting slametan berada di daerah yang 100% masyarakatnya memeluk agama Islam. Sehingga bentuk-bentuk adat-istiadat dan kebudayaan Jawa telah diakulturasikan dengan agama Islam. Pengakulturasian tersebut sangat terlihat pada doa-doa yang dihajatkan oleh pemimpin slametan. Lihatlah kutipan doa berikut ini.
DB/BII/K2
“Kajatipun engkang werni sekul suci ulam sari hormat dumateng junjungan kita Nabi Muhammad SAW sak garwa lan putranipun sedaya.

(Hajatnya yang berupa nasi suci ikan sari hormat kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW beserta istri dan putranya semua.)
Dalam kutipan di atas terdapat penyebutan tokoh utama agama Islam yaitu Nabi Muhammad SAW. Lebih dalam dari sekedar penyebutan, dari konteks kalimatnya dapat dilihat bahwa salah satu piranti slametan yang diucapkan pertama kali adalah sekul suci ulam sari yaitu nasi uduk dengan ingkung lodho (ayam utuh yang diolah dan menjadi makanan khas Kota Tulungagung) disajikan khusus untuk Nabi Muhammad SAW dan semua keluarganya.
Dari data lain juga ditemukan repetisi kalimat imperatif dalam bentuk harapan yang ditujukan kepada Tuhan agama Islam yaitu Allah SWT.  Repetisi kalimat ini ditemukan di lima bagian dari awal hingga akhir doa kecuali di bagian pertama dan keenam. Berikut adalah kutipan repetisi tersebut.
“Mugi-mugi Allah Ta’ala maringana barokah kawilujengan dumateng Fatah.”
(Semoga Allah SWT memberikan barokah keslametan kepada Fatah.)
DB/BII/K3
“Mugi-mugi Allah Ta’ala maringana barokah kawilujengan.”
(Semoga Allah SWT memberikan barokah keslametan.)
DB/BIII/K3
“Kintun donga mugi-mugi Allah Ta’ala maringana barokah kawilujengan dumateng Fatah.”
(Kirim doa, semoga Allah SWT memberikan barokah dan keslametan kepada Fatah.)
(DB/BIV/K3)
“Dipun brokohi sekul brok mugi-mugi Allah Ta’ala maringana kawilujengan dumateng Fatah.”
(Diselamati sekul brok semoga Allah SWT memberikan keslametan)
(DB/BV/K3)
“Mugi-mugi Allah Ta’ala maringana barokah keslametan kawilujengan dateng Fatah”
(Semoga Allah SWT memberikan barokah dan keslametan kepada Fatah.)
(DB/BVII/K3)

Repetisi-repetisi kalimat imperatif di atas merupakan penekanan pengharapan atas slametan yang sedang diselenggarankan setelah menyajikan makanan-makanan asahan sebagai penyimbolan. Repetisi di atas dimaksudkan untuk memohon keselamatan kepada Sang Pencipta atau Tuhan agama Islam yaitu Allah SWT. Permohonan keselamatan inilah yang menjadi inti dari slametan yang diselenggarakan.
“Kajatipun engkang werni sekul memule ketan kolak punika empun lumintun donga dumaten para leluhur kita engkang sampun sare turunan sakinng Kaki-Nini, saking Bapa, saking Biyung, jaler-istri, ageng-alit, sedaya leluhur engkang manggen wonten pundi kemawon.
Selain menyebutkan tokoh religi dan Tuhan agama Islam, dalam doa juga ditemukan penyebutan leluhur-leluhur yang telah meninggal seperti pada kutipan di atas. Penyebutan tersebut tidak lepas dari pandangan masyarakat Jawa yang meyakini adanya makhlik halus dan roh-roh leluhur. Jadi, upacara pemanjatan doa yang dilakukan oleh masyarakat Islam di dusun Nguluh dengan cara kejawen ini sebenarnya tetap merujuk kepada falsafah islam, dan berdoa memohon kepada Tuhan agama Islam yaitu Allah SWT, namun pada saat yang sama mereka juga meyakini eksistensi makhluk halus, dan roh-roh leluhur. Dapat disimpulkan bahwa sistem keyakinan Islam Kejawen ini merupakan proses panjang akulturasi tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu.
Simbol
Bentuk-bentuk simbol dalam ritual slametan ini merupakan piranti-piranti slametan yang menjadi syarat hajatan. Simbol-simbol yang berbentuk makanan disebut dengan sesaji atau asahan. Penyimbolan sesaji inilah yang dominan ada dalam ritual slametan. Sesaji ini selalu menyimbolkan sesuatu yang menjadi tujuan slametan. Berikut adalah simbol-simbol yang ada dalam slametan.
-          Sekul suci ulam sari
Sekul suci ulam sari adalah sesaji yang berupa sego gurih (nasi uduk) yang diatasnya diberi ingkung ayam lodho. Sesaji ini adalah sesaji yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam. Penggunaan sesaji ini adalah sebuah harapan untuk mendapatkan petunjuk dari Nabi agar doa-doanya dikabulkan oleh Allah. Lodho sego gurih berasal dari kata tuladha yang bermakna contoh. Hal itu dimaksudkan bahwa Nabi Muhammad adalah tuntunan kita (umat Islam) memberi tuntunan yang baik untuk ritual.
-          Jenang Sepuh
Jenang sepuh adalah bubur beras ketan yang berwarna merah. Pengadaan bubur ini melambangkan kebahagiaan dan keselamatan bagi yang punya hajat. 
-          Iwel-iwel
Iwel-iwel merupakan jajanan pasar yang berupa adonan tepung ketan yang di dalamnya berisi parutan kelapa dan gula merah. Iwel-iwel ini melambangkan kebersihan dan kesucian jiwa.
-          Golong Gangsal
Golong gangsal merupakan Sego golong yang berjumlah lima buah. Sego golong ini bermakna kemajemukan waktu dan hari. Sejak masih dalam rahim sang ibu, manusia dibayang-bayangi oleh Naga Kala atau bahaya. Ketika manusia telah lahir, maka harus berhati-hati pula karena segala penjuru mata angin selalu ada Naga Kala. Oleh karena itu, manusia memiliki ancaman bahaya pada waktu, hari, minggu, bulan dan tahun tertentu. Sehingga manusia berusaha untuk meminta keselamatan dengan menggunakan sego golong yang berarti mengumpulkan hari, minggu, bulan dan tahun kemudian hari yang digunakan untuk ritual sehingga yang bersangkutan diberikan keselamatan atas semua waktu tersebut. 
-          Buceng Kuat
Buceng kuat adalah buceng yang bagian ujungnya berupa ketan. Buceng ini merupakan simbol kekuatan. Makna dari buceng kuat adalah masyarakat meminta keselamatan, kekuatan dalam kehidupan. Dalam kaitannya dengan hal ini, sesajian golong gangsal yang diperuntukkan bagi Yang Kuasa dengan tujuan menyenangkan mereka disebut Selamatan. Makna sego golong adalah menyatukan tujuh hari, tujuh malam, lima pasaran, tiga puluh hari, dua belas bulan, empat minggu, tepatnya di hari itu (Minggu pon). Sego golong bermakna kemajemukan waktu dan hari. Sejak masih dalam rahim sang ibu, manusia dibayang-bayangi oleh Naga Kala atau bahaya. Ketika manusia telah lahir, maka harus berhati-hati pula karena segala penjuru mata angin selalu ada Naga Kala yang membawa kesialan. Oleh karena itu, manusia memiliki ancaman bahaya pada waktu, hari, minggu, bulan dan tahun tertentu. Sehingga manusia berusaha untuk meminta keselamatan dengan menggunakan sego golong yang berarti mengumpulkan hari, minggu, bulan dan tahun kemudian hari yang digunakan untuk ritual sehingga yang bersangkutan diberikan keselamatan atas semua waktu tersebut. 
-          Kembang Setaman
Kembang setaman dalam ritual sebagai simbol penyiram penghuni dusun Nguluh agar tenteram, dan simbol penyambung kehidupan yang memiliki hajat.


DAFTAR RUJUKAN

Chaer, A. 2008. Moefologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta.
Geertz, C. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.Terjemahan oleh Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jawa.
Nugraheni, Y. 2009. Analisis Reduplikasi Bahasa Jawa pada Novel Dom Sumurup Ing Banyu.
Phuspita, F. 2010. Sistem Kepercayaan Adat Kehamilan dan Kelahiran di dalam Masyarakat Jawa dalam Teks Platenalbum 30. (Online), diakses 29 November 2013.
Ramlan. 2009. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: C. V Karyono.
Sumarsono. 2012. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka  Pelajar.
Ula, M. 2010. Tradisi Munggah Molo dalam Perspektif Antropologi Linguistik. Jurnal Penelitian, Vol 7, No 2.
Putraningsih, T. 2010. Pertunjukan Tari: Sebuah Kajian Perspektif Gender (Jurnal Ilmiah).
Suprayogi, D. 2010. Sejahtera di Usia Senja Dimensi Psikoreligi pada Lanjut Usia (Jurnal Ilmiah).
Wahyudi. 2011. Islam dan Nilai-nilai Budaya Lokal di Jawa (Jurnal Ilmiah).

ads

Ditulis Oleh : Unknown Hari: Minggu, Januari 19, 2014 Kategori:

2 komentar:

  1. Kamus Online Bahasa Jawa krama inggil alus disajikan dalam peruntukan membantu dan memudahkan Orang-orang yang ingin dalam mencari terjemahan bahasa jawa secara realtime.

    BalasHapus
  2. Artikel yg sangat baik dan bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang adat Jawa yg unik.

    BalasHapus