Selasa, 26 Februari 2013

Cappuccino Merah Muda


Kalau saja bintang-bintang ceria bisa dijadikan topeng untuk wajah coklat secangkir cappuccino  malam itu. Sialnya, malah tampak satu kejora menertawakan air bejatku yang lancang saja mengalir tanpa permisi di pipiku.
***
Di meja lesehan sebuah café sudut perempatan kapal, di bawah langit hitam yang benderang karena bulan-bintang terang besinar dan berkelip riang, seorang laki-laki dan perempuan yang kasmaran sedang memadu pandang, dengan mata yang saling menatap dalam, saling senyum, dan memamerkan gigi. Dua manusia itu berkisah tentang cinta yang sengaja mengalir dalam setiap pembuluh darah mereka dan mengucap kata-kata manis, tentang kasih sayang yang kemudian menyatukan dua manusia bodoh itu. Klasik. Yah, mereka berdua adalah kami, kami yang sedang berkasih, berkasih sejak tiga tahun lalu, dan aku adalah perempuan itu.
“Cappuccino ini jelas masih panas, tapi bisakah kamu jelaskan bagaimana kamu tahu cappuccino ini masih panas sebelum kamu meminumnya?” Tanyanya dengan muka agak serius.
“Pertanyaan konyol, jelaslah dari uap yang mengepul diatasnya juga dari temperatur gelas saat kita menyentuhnya. Dari apalagi kalau bukan itu?” Jawabku yakin.
Dia malah tersenyum sambil memandangiku. Seolah-olah dia mengejekku dan berkata, “hanya sedalam itukah pemikiranmu?” Ahh, tapi aku tak perduli, pikirku itu hanya pertanyaan kosong untuk basa-basi saja. Tapi entah mengapa mataku jadi tersangkut di pandangannya yang semakin dalam dan dalam menatap mataku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan dengan menyodorkan pertanyaan ringan tapi menyimpan arti itu.
Rasa tidak peduli yang awalnya hinggap di diriku kini berangsur pergi dan berganti menjadi rasa peasaran, apa yang ingin ia katakan sebenarnya. Apa yang harus aku singkap dari kata-katanya itu, dari senyumnya itu, dari pandangannya itu.
“Adakah cara lain untuk mengetahuinya??”
“Bagaimana kalau uap-uap dan tempertur gelas itu berbohong? Bukankah yang ingin kita ketahui adalah air berwarna coklat di dalamnya, bukan uap atau temperatur gelasnya. Bagaimana jika uap-uap dan temperatur itu adalah rekayasa dari sang gelas untuk menipu kita?”
Kemudian nyatalah kegelapan menyergap pikiranku. Pertanyaan yang ku sangka konyol itu sekarang menjadi sebuah pertanyaan misterius yang menggempur-gempur otakku untuk menemukan jawabannya. Jelasnya, pertanyaan itu bukan tentang kopi panas yang meradiasikan kalornya kepada gelas dan udara di atasnya sehingga menjadi uap.
Aku masih diam di hadapnya, tapi sebenarnya aku sedang bermain-main dengan logika. Mengurai analogi tentang secangkir cappuccino panas dan menghubung-hubungkannya dengan apa-apa saja yang pernah kami lakukan sebagai sepasang kekasih. Namun aku tak bisa menguaknya dengan variabel yang demikian sedikit.
“Hahaha… Sudah jangan terlalu dipikirkan, bagaimana kalau kita membicarakan tentang mantan kekasihmu? Apa yang bisa aku contek dari dia? Sudah tiga tahun kita bersama tapi kamu sedikit sekali menceritakan tentang dia”. Ia memotong pandangan kosongku dengan santainya. Secepat perkataan itu melesat dari bibirnya, secepat itu pula aku melupakan pertanyan misterius yang tadinya sangat ingin ku kuak kemisteriusannya. Tapi ia sungguh cerdik mengalihkan pikiranku.
“Sudahlah aku tak mau bahas laki-laki bengis itu lagi, atau akan ku pastikan kita pulang dengan tekanan darah naik jika kamu tetap memaksa!”
“Apa salahnya? Aku cuma mau tahu apa keistimewaan preman itu hingga ia bisa mendapatkan keprawananmu. Barangkali ada yang bisa aku pelajari. Ayolah, kamu tak pernah cerita bagian ini!”
“Dan sudah tiga tahun pula kamu memaksaku untuk bercerita tentang ini. Dulu, waktu kamu tahu bahwa aku sudah tidak berkehormatan lagi saja rasanya seperti masuk neraka. Apalagi kamu tahu semuanya, aku sudah terlanjur menaruh hatiku padamu, dan kamu juga sudah terlanjur terbangkanku di antara harapan-harapan yang kamu beri saat kamu mengatakan bahwa kita sama, kita setara, kita punya masalalu yang sama, kamu juga sudah nggak joko, dan karena itulah kamu menerimaku. Makanya, sudahlah lupakan itu semua, kita jalani yang sekarang. Masalalu biar menjadi sebuah pelajaran berharga walaupun kita tetap melakukan ‘itu’ hingga sekarang. Itulah yang seharusnya kamu pelajari, bukan lagi soal trik-triknya hingga dia bisa mendapatkan darah keperwananku ini!”
Dulu, otakku layak balok es panggang ketika memperkirakan bagaimana reaksinya saat ia tahu bahwa aku tak lagi utuh, dia akan hancur, dia tak bisa menerima bahkan aku tak bisa membayangkan hal mengerikan apa yang akan ia lakukan sebagai wujud kekecewaannya, karena memang ia tahu tentang ini bukan dari mulutku sendiri, tapi dari congor pesing mantan kekasihku yang sebenarnya masih mengharapkanku kembali.
Namun sungguh di luar dugaan. Ia malah tersenyum sambil memelukku dan berkata, “Aku menerimamu, segala tentang dirimu, masalalumu, bahkan ketidakutuhanmu”. Satu kalimat yang berhasil mengobrak-abrik kedirianku. Entah bagaimana rasanya saat itu, malu, sedih, bahagia, bahkan kasihan bercampur tidak karuan. Bagaimana bisa keadaan berkebalikan 180 derajat dari yang aku bayangkan. Aku hanya bisa menangis. Entah menangis karena apa, karena malu setengah mati, karena lega setengah mati, atau bingung setengah mati, aku tak bisa membedakannya.
“Apa yang ada dipikiranmu? Bodoh! Apa yang kamu katakan? Jangan sok jadi pahlawan! Jangan buatku melambung tinggi bila kau akan menjatuhkanku suatu saat nanti! Masih belum terlambat untuk pergi!” 
Sebenarnya, sungguh berat aku mengucap kata “pergi” saat itu, karena aku pun tak inginkan ia pergi. Waktu itu kami masih dua bulan berkasih, rasa sayangku masih terlalu hangat untuk dikandaskan. Tapi bukankah itu yang terbaik untuknya? Siapa yang tega melihat kekasihnya mendapatkan sesuatu yang buruk? Kemudian ia menjawabnya dengan suara lembut.
“Dengar sayang, jangan menangis. Aku pun pernah melakukannya dengan ia yang dulu. Aku sama sepertimu. Tak ada pembanding diantara kita”.
“Apa? Apa katamu?”
Sungguh aku tak menyangka, hingga aku terpaku menatap wajahnya yang tersenyum. Bak dihampiri malaikat bersayap hitam, lalu aku di bawa terbang olehnya. Melayang di perawangan abu-abu yang tinggi.
“Saat aku membuka pesan itu, pesan dari mantan kekasihmu, bahwa kamu pernah melakukan hal itu dengannya, aku tersenyum. Inilah yang seharusnya aku terima, karna aku pun merasa tak pantas berkasih dengan wanita yang masih seputih kapas.”
Kisah itulah yang membuat kami bertahan hingga kini. Persamaan kami membuat sekatan-sekatan diantara kami hilang. Aku tak pernah segan membicarakan hal-hal tabu dengan dirinya, begitupun dirinya. Kemudian terciptalah satu rasa yang membuat kami betah berdekatan siang malam tanpa pisah, “kenyamanan”.
Dan malam ini kami punya kisah lain. Di antara sayup-sayup angin malam yang merambah tubuh, tangan lembutnya mengelus pipiku yang dingin. Matanya yang sayu memandangku lemah. Dan mataku bergerak mengitari seluruh gelagatnya yang aneh, lalu kebingungan menyergapku lagi. Ada apa?
“Sayang, jika gelas memang mendustai kita, dan cappuccino ini sebenarnya adalah dingin, apakah kamu masih mau meminumnya?”, tanyanya dengan suara lirih. Matanya tak berani menatapku.
“Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan, sayang? Buka mulutmu, bukalah, rahasia apa di balik pertanyaan-pertanyaan membingungkan itu?”
“Bukankah kopi yang dingin tak akan menyakiti bibirmu yang manis dan tak akan menyengat lidahmu? Sebenarnya, temperatur gelas dan uap-uap yang hangat itu adalah selubung yang lembut, mereka menginginkan kamu tetap tersenyum dan membuatmu tetap meminumnya”, ia kembali menatapku, kali ini dengan mata tajam penuh keyakinan yang misterius dan tangannya menggenggam jemariku.
Sungguh aku tak sanggup lagi mendengar analogi-analogi itu. Telingaku dan pikiranku sudah merengkik kehausan setitik cahaya kala mendengar nada-nada gulita itu. Jemariku mulai berontak dan berusaha melepas genggaman lembut telapak tangannya. Tapi jariku pasti menang lemah di banding punyanya. Sekuat tenaga ia menahan tanganku, ia juga menahan pandanganku tetap di dalam bola matanya. 
Bintang yang berkelip warna-warni seakan memucat, kemudian menyamai warna langit. Angin dingin berubah menjadi angin kering. Hingar suara perempatan mengantar suaranya yang sayup-sayup, melantunkan beberapa kalimat paling menyakitkan diantara semua rangkaian kata yang pernah aku dengar.
“Sayang, maafkan aku. Maafkan aku karena tak pernah berani mengatakan kebenaran padamu. Nyaliku kian menciut saat membayangkanmu terus merasa rendah, merasa tak pantas, tak suci, bahkan merasa hina. Aku tak akan tega mendengar bibir manismu mencerca dirimu sendiri. Aku tak mau melihatmu jatuh dalam masalalumu. Saat itu, aku lebih memilih kamu bahagia dan bangkit diatas kepalsuan. Sayang, maaf aku berbohong. Aku tak pernah melakukan apapun dengan kekasihku yang dulu”.
Aku tidak pernah membayangkan kata-kata itu akan kaluar dari mulutnya yang sedari tadi tersenyum manis. Aku telah dihianati oleh kebenaran, dan aku menyalahkan kebenaran itu. Ohh sayang, mengapa kamu katakan? Aku bahkan tak mengharapkan kebenaran. Aku lebih suka caramu yang dulu, bahagia di atas kepalsuan yang tak ku ketahui, yah, itu lebih baik. Air bejatku pun turun dari mata yang kotor. Kemudian mengejekku dengan mengalir tanpa permisi di atas kulit pipiku. Nafasku seakan sulit berhembus karena dada tertimpa kebohongan yang benar, sangat menyakitkan. Dengan bibir yang sulit membuka, ku tanggapi pengakuannya itu dengan terbata-bata.
“Me… mengapa kamu lakukan ini?”
“Karena aku menyayangimu, aku ingin kamu tahu bahwa aku menerimamu dengan setulus hatiku. Aku tak ingin kamu hilang dalam kebencianmu terhadap masalalumu sendiri. Selain itu aku juga terpaksa melakukan ini. Kupingku sudah panas mendengarmu terus mencela kekasihku yang dulu karena kecemburuanmu. Dia tak seburuk itu. Dia gadis rumahan yang polos, tak mungkin tega aku menodainya. Maafkan aku.”
Sungguh kebenaran itu menyakitkan. Membuatku berteriak tak karuan di dalam senyapnya suara hatiku. Ternyata sekat itu tak hilang, melainkan ia tutupi dengan tirai keindahan yang amat besar. Kini aku melihat diriku yang menjijikkan, lebih menjijikkan dari yang dulu. Ohh Tuhan! Mengapa aku tega mencelai gadis suci itu? Pasti ia menangis darah saat ku rebut kekasihnya yang sebaik ini. Bahkan aku tega mencercanya setelah ku buat ia bersimba air mata. Oh Tuhan! Maafkan aku! Aku hanya iri padanya, walaupun ketika itu yang ku tahu dia yang kotor sepertiku. Aku iri masalalunya bersama ia yang ku kasihi sekarang. Aku iri mengapa lelaki ini lebih dulu bersinggah padanya.
 Ohh Tuhan! Maafkan aku! Ku buat menderita satu-satunya orang yang teramat mencintaiku. Sekarang tersibaklah semua. Kebenaran yang pahit muncul melalui kerisauannya yang panjang. Kerisauan menyimpan sebongkah kepalsuan yang riang.

ads

Ditulis Oleh : Unknown Hari: Selasa, Februari 26, 2013 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar