***
Di meja lesehan
sebuah café sudut perempatan kapal, di bawah langit hitam yang benderang karena
bulan-bintang terang besinar dan berkelip riang, seorang laki-laki dan
perempuan yang kasmaran sedang memadu pandang, dengan mata yang saling menatap
dalam, saling senyum, dan memamerkan gigi. Dua manusia itu berkisah tentang
cinta yang sengaja mengalir dalam setiap pembuluh darah mereka dan mengucap
kata-kata manis, tentang kasih sayang yang kemudian menyatukan dua manusia
bodoh itu. Klasik. Yah, mereka berdua adalah kami, kami yang sedang berkasih,
berkasih sejak tiga tahun lalu, dan aku adalah perempuan itu.
“Cappuccino ini jelas
masih panas, tapi bisakah kamu jelaskan bagaimana kamu tahu cappuccino ini
masih panas sebelum kamu meminumnya?” Tanyanya dengan muka agak serius.
“Pertanyaan konyol,
jelaslah dari uap yang mengepul diatasnya juga dari temperatur gelas saat kita
menyentuhnya. Dari apalagi kalau bukan itu?” Jawabku yakin.
Dia malah tersenyum
sambil memandangiku. Seolah-olah dia mengejekku dan berkata, “hanya sedalam
itukah pemikiranmu?” Ahh, tapi aku tak perduli, pikirku itu hanya pertanyaan
kosong untuk basa-basi saja. Tapi entah mengapa mataku jadi tersangkut di
pandangannya yang semakin dalam dan dalam menatap mataku. Sepertinya ada
sesuatu yang ingin ia sampaikan dengan menyodorkan pertanyaan ringan tapi
menyimpan arti itu.
Rasa tidak peduli
yang awalnya hinggap di diriku kini berangsur pergi dan berganti menjadi rasa
peasaran, apa yang ingin ia katakan sebenarnya. Apa yang harus aku singkap dari
kata-katanya itu, dari senyumnya itu, dari pandangannya itu.
“Adakah cara lain
untuk mengetahuinya??”
“Bagaimana kalau
uap-uap dan tempertur gelas itu berbohong? Bukankah yang ingin kita ketahui
adalah air berwarna coklat di dalamnya, bukan uap atau temperatur gelasnya.
Bagaimana jika uap-uap dan temperatur itu adalah rekayasa dari sang gelas untuk
menipu kita?”
Kemudian nyatalah
kegelapan menyergap pikiranku. Pertanyaan yang ku sangka konyol itu sekarang
menjadi sebuah pertanyaan misterius yang menggempur-gempur otakku untuk
menemukan jawabannya. Jelasnya, pertanyaan itu bukan tentang kopi panas yang
meradiasikan kalornya kepada gelas dan udara di atasnya sehingga menjadi uap.
Aku masih diam di
hadapnya, tapi sebenarnya aku sedang bermain-main dengan logika. Mengurai analogi
tentang secangkir cappuccino panas dan menghubung-hubungkannya dengan apa-apa
saja yang pernah kami lakukan sebagai sepasang kekasih. Namun aku tak bisa
menguaknya dengan variabel yang demikian sedikit.
“Hahaha… Sudah jangan
terlalu dipikirkan, bagaimana kalau kita membicarakan tentang mantan kekasihmu?
Apa yang bisa aku contek dari dia? Sudah tiga tahun kita bersama tapi kamu
sedikit sekali menceritakan tentang dia”. Ia memotong pandangan kosongku dengan
santainya. Secepat perkataan itu melesat dari bibirnya, secepat itu pula aku
melupakan pertanyan misterius yang tadinya sangat ingin ku kuak
kemisteriusannya. Tapi ia sungguh cerdik mengalihkan pikiranku.
“Sudahlah aku tak mau
bahas laki-laki bengis itu lagi, atau akan ku pastikan kita pulang dengan
tekanan darah naik jika kamu tetap memaksa!”
“Apa salahnya? Aku
cuma mau tahu apa keistimewaan preman itu hingga ia bisa mendapatkan
keprawananmu. Barangkali ada yang bisa aku pelajari. Ayolah, kamu tak pernah
cerita bagian ini!”
“Dan sudah tiga tahun
pula kamu memaksaku untuk bercerita tentang ini. Dulu, waktu kamu tahu bahwa
aku sudah tidak berkehormatan lagi saja rasanya seperti masuk neraka. Apalagi
kamu tahu semuanya, aku sudah terlanjur menaruh hatiku padamu, dan kamu juga
sudah terlanjur terbangkanku di antara harapan-harapan yang kamu beri saat kamu
mengatakan bahwa kita sama, kita setara, kita punya masalalu yang sama, kamu
juga sudah nggak joko, dan karena itulah kamu menerimaku. Makanya, sudahlah lupakan
itu semua, kita jalani yang sekarang. Masalalu biar menjadi sebuah pelajaran
berharga walaupun kita tetap melakukan ‘itu’ hingga sekarang. Itulah yang
seharusnya kamu pelajari, bukan lagi soal trik-triknya hingga dia bisa
mendapatkan darah keperwananku ini!”
Dulu, otakku layak
balok es panggang ketika memperkirakan bagaimana reaksinya saat ia tahu bahwa
aku tak lagi utuh, dia akan hancur, dia tak bisa menerima bahkan aku tak bisa
membayangkan hal mengerikan apa yang akan ia lakukan sebagai wujud
kekecewaannya, karena memang ia tahu tentang ini bukan dari mulutku sendiri,
tapi dari congor pesing mantan kekasihku yang sebenarnya masih mengharapkanku
kembali.
Namun sungguh di luar
dugaan. Ia malah tersenyum sambil memelukku dan berkata, “Aku menerimamu,
segala tentang dirimu, masalalumu, bahkan ketidakutuhanmu”. Satu kalimat yang
berhasil mengobrak-abrik kedirianku. Entah bagaimana rasanya saat itu, malu,
sedih, bahagia, bahkan kasihan bercampur tidak karuan. Bagaimana bisa keadaan
berkebalikan 180 derajat dari yang aku bayangkan. Aku hanya bisa menangis.
Entah menangis karena apa, karena malu setengah mati, karena lega setengah
mati, atau bingung setengah mati, aku tak bisa membedakannya.
“Apa yang ada
dipikiranmu? Bodoh! Apa yang kamu katakan? Jangan sok jadi pahlawan! Jangan
buatku melambung tinggi bila kau akan menjatuhkanku suatu saat nanti! Masih
belum terlambat untuk pergi!”
Sebenarnya, sungguh
berat aku mengucap kata “pergi” saat itu, karena aku pun tak inginkan ia pergi.
Waktu itu kami masih dua bulan berkasih, rasa sayangku masih terlalu hangat
untuk dikandaskan. Tapi bukankah itu yang terbaik untuknya? Siapa yang tega
melihat kekasihnya mendapatkan sesuatu yang buruk? Kemudian ia menjawabnya
dengan suara lembut.
“Dengar sayang,
jangan menangis. Aku pun pernah melakukannya dengan ia yang dulu. Aku sama
sepertimu. Tak ada pembanding diantara kita”.
“Apa? Apa katamu?”
Sungguh aku tak
menyangka, hingga aku terpaku menatap wajahnya yang tersenyum. Bak dihampiri
malaikat bersayap hitam, lalu aku di bawa terbang olehnya. Melayang di
perawangan abu-abu yang tinggi.
“Saat aku membuka
pesan itu, pesan dari mantan kekasihmu, bahwa kamu pernah melakukan hal itu
dengannya, aku tersenyum. Inilah yang seharusnya aku terima, karna aku pun
merasa tak pantas berkasih dengan wanita yang masih seputih kapas.”
Kisah itulah yang
membuat kami bertahan hingga kini. Persamaan kami membuat sekatan-sekatan
diantara kami hilang. Aku tak pernah segan membicarakan hal-hal tabu dengan
dirinya, begitupun dirinya. Kemudian terciptalah satu rasa yang membuat kami
betah berdekatan siang malam tanpa pisah, “kenyamanan”.
Dan malam ini kami
punya kisah lain. Di antara sayup-sayup angin malam yang merambah tubuh, tangan
lembutnya mengelus pipiku yang dingin. Matanya yang sayu memandangku lemah. Dan
mataku bergerak mengitari seluruh gelagatnya yang aneh, lalu kebingungan
menyergapku lagi. Ada apa?
“Sayang, jika gelas
memang mendustai kita, dan cappuccino ini sebenarnya adalah dingin, apakah kamu
masih mau meminumnya?”, tanyanya dengan suara lirih. Matanya tak berani
menatapku.
“Apa yang sebenarnya
ingin kamu sampaikan, sayang? Buka mulutmu, bukalah, rahasia apa di balik
pertanyaan-pertanyaan membingungkan itu?”
“Bukankah kopi yang
dingin tak akan menyakiti bibirmu yang manis dan tak akan menyengat lidahmu?
Sebenarnya, temperatur gelas dan uap-uap yang hangat itu adalah selubung yang
lembut, mereka menginginkan kamu tetap tersenyum dan membuatmu tetap
meminumnya”, ia kembali menatapku, kali ini dengan mata tajam penuh keyakinan
yang misterius dan tangannya menggenggam jemariku.
Sungguh aku tak
sanggup lagi mendengar analogi-analogi itu. Telingaku dan pikiranku sudah
merengkik kehausan setitik cahaya kala mendengar nada-nada gulita itu. Jemariku
mulai berontak dan berusaha melepas genggaman lembut telapak tangannya. Tapi
jariku pasti menang lemah di banding punyanya. Sekuat tenaga ia menahan
tanganku, ia juga menahan pandanganku tetap di dalam bola matanya.
Bintang yang berkelip
warna-warni seakan memucat, kemudian menyamai warna langit. Angin dingin
berubah menjadi angin kering. Hingar suara perempatan mengantar suaranya yang
sayup-sayup, melantunkan beberapa kalimat paling menyakitkan diantara semua
rangkaian kata yang pernah aku dengar.
“Sayang, maafkan aku.
Maafkan aku karena tak pernah berani mengatakan kebenaran padamu. Nyaliku kian
menciut saat membayangkanmu terus merasa rendah, merasa tak pantas, tak suci,
bahkan merasa hina. Aku tak akan tega mendengar bibir manismu mencerca dirimu
sendiri. Aku tak mau melihatmu jatuh dalam masalalumu. Saat itu, aku lebih
memilih kamu bahagia dan bangkit diatas kepalsuan. Sayang, maaf aku berbohong.
Aku tak pernah melakukan apapun dengan kekasihku yang dulu”.
Aku tidak pernah
membayangkan kata-kata itu akan kaluar dari mulutnya yang sedari tadi tersenyum
manis. Aku telah dihianati oleh kebenaran, dan aku menyalahkan kebenaran itu.
Ohh sayang, mengapa kamu katakan? Aku bahkan tak mengharapkan kebenaran. Aku
lebih suka caramu yang dulu, bahagia di atas kepalsuan yang tak ku ketahui,
yah, itu lebih baik. Air bejatku pun turun dari mata yang kotor. Kemudian
mengejekku dengan mengalir tanpa permisi di atas kulit pipiku. Nafasku seakan
sulit berhembus karena dada tertimpa kebohongan yang benar, sangat menyakitkan.
Dengan bibir yang sulit membuka, ku tanggapi pengakuannya itu dengan
terbata-bata.
“Me… mengapa kamu
lakukan ini?”
“Karena aku
menyayangimu, aku ingin kamu tahu bahwa aku menerimamu dengan setulus hatiku.
Aku tak ingin kamu hilang dalam kebencianmu terhadap masalalumu sendiri. Selain
itu aku juga terpaksa melakukan ini. Kupingku sudah panas mendengarmu terus
mencela kekasihku yang dulu karena kecemburuanmu. Dia tak seburuk itu. Dia
gadis rumahan yang polos, tak mungkin tega aku menodainya. Maafkan aku.”
Sungguh kebenaran itu
menyakitkan. Membuatku berteriak tak karuan di dalam senyapnya suara hatiku.
Ternyata sekat itu tak hilang, melainkan ia tutupi dengan tirai keindahan yang
amat besar. Kini aku melihat diriku yang menjijikkan, lebih menjijikkan dari
yang dulu. Ohh Tuhan! Mengapa aku tega mencelai gadis suci itu? Pasti ia
menangis darah saat ku rebut kekasihnya yang sebaik ini. Bahkan aku tega
mencercanya setelah ku buat ia bersimba air mata. Oh Tuhan! Maafkan aku! Aku
hanya iri padanya, walaupun ketika itu yang ku tahu dia yang kotor sepertiku.
Aku iri masalalunya bersama ia yang ku kasihi sekarang. Aku iri mengapa lelaki
ini lebih dulu bersinggah padanya.
Ohh Tuhan! Maafkan aku! Ku buat menderita satu-satunya
orang yang teramat mencintaiku. Sekarang tersibaklah semua. Kebenaran yang
pahit muncul melalui kerisauannya yang panjang. Kerisauan menyimpan sebongkah
kepalsuan yang riang.
0 komentar:
Posting Komentar