Memang benar kata semua
orang, bahwa cinta tak memandang bentuk rupa, cinta tak memandang harta benda,
cinta juga tak memandang status agama, dan bahkan kali ini lebih dari itu
semua.
Aku bukanlah seorang yang
mudah percaya pada orang lain, untuk itu aku jarang menepati janji yang telah
ku ucapkan. Bahkan, janji yang ku ucapkan dulu sebelum aku dilahirkan di dunia
ini tak ku laksanakan. Aku memang tak taat dalam beribadah. Jika di KTP aku
menyandang status islam, maka di realitanya aku dapat dikatakan orang yang tak
beragama, sebut saja atheis. Tapi aku bukan PKI. Namun, semua itu ditampik oleh satu
kata, rasa, status, masalah, pengorbanan, keinginan, hasrat, dan duniawi yang
disebut cinta.
“Betina”. Itu bukan
nama sembarangan. Nama itu membuat aku mengerti apa yang harus aku lakukan jika
bersamanya, nama itu membuat aku mengerti untuk apa aku dilahirkan di dunia
ini, nama itu membuat aku mengeti indahnya kebersamaan, dan sekali lagi nama
itu membuatku mengerti kenapa aku dapat melakukan semua ini.
Semua ini berawal dari
percakapan ringan di atas onggokan batu yang dicampur baur dengan material lain
sehingga menjadi bentuk berbeda dan fungsi berbeda pula.
“Sedang apa disini?
Bukankah jam segini kamu sudah pulang dan tidur pulas di kos?” Aku berusaha
mendekatinya dengan pertanyaan ringan.
“Tidak, aku masih
menunggu seseorang disini”. Dia begitu dingin menjawab pertanyaanku, seakan aku
seperti setan yang tak bisa dia lihat.
“Seseorang siapa? Tak
mungkin kan ada manusia yang mau lewat jalan ini di tengah malam seperti ini”.
“Memang, tapi aku harus
tetap menunggunya”.
“Kenapa? Apa dia punya
hutang sama kamu?”
“Bukan Cuma hutang,
tapi janji sampai mati”. Dialog pun
terus berlanjut sampai pada akhirnya dia
mau pulang denganku. Memboncengnya yang terus bersikap dingin walau sampai kos.
Bukan kali pertama aku
melihatnya, namun kali pertama aku suka kepadanya. Suka memang bukan
satu-satunya alasan ku untuk mau mengantarnya pulang dengan sikap dinginya yang
terus dipertahankan. Tapi entah mengapa
aku seperti terkena magnet yang mengiginkanku untuk terus berada di sampingnya.
Aku masih heran dengan
jawabanya mengenai “janji sampai mati”. Apa mungkin dia ingin mati? Tapi
entahlah, kapan-kapan bila ketemu lagi aku mau menanyakanya dan memang harus
ketemu.
Kali ini aku ingin
berbeda dengan pertemuan sebelumnya, aku merencanakanya sendiri. Entah kenapa
aku mau melakukan hal ini. Aku mencari informasi mengenai dirinya kepada
teman-teman kampusnya. Kata mereka, dulu sebelum bulan Oktober dia anak yang
aktif, ceria, keras kepala, penuh semangat, pintar, dan semua sifat sehingga
berhasil mendapat pujian dari semua orang. Dalam pikiranku aku mulai
membayangkan dia dulu seperti apa dan ternyata ketemu. Aku membayangkan dia
dulu layaknya seorang wanita, benar-benar seorang wanita.
Belum cukup mereka
bercerita, aku segera mengubah pikiranku dari bangga menjadi sangat penasaran
karena mendengar mereka berkata setelah bulan Oktober dia berubah drastis. Dia
menjadi sangat pendiam dan hal itu mempengaruhi semua kinerjanya sebagai
seorang mahasiswa.
Apa yang terjadi
padanya? Kenapa dia seperti itu? Apa yang salah denganya? Kenapa setelah bulan
Oktober? Apa hubunganya dengan janji sampai mati? Semua
pertanyaan itu aku lontarkan kepada teman-temanya. Tapi mereka menjawab semua
pertanyaanku itu hanya dengan tiga kata.
Kami tidak tahu. Mereka semua menjawab hal yang
sama seperti itu.
Tidak panjang lebar
bertanya mengenai dirinya, langsung saja aku minta nomor hand phonenya.
Disebutkan 0856481331xx. Aku segera mencatat dan langsung saja aku telfon
dia.
“Nomor yang anda
hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar servis area, cobalah beberapa
saat lagi”. Jawaban mesin operator ini malah membuat aku penasaran sekali. Jika
ada alat ukur rasa penasaran, mungkin kali ini rasa penasaranku sudah 89%.
Kenapa nomornya tidak
aktif? Dengan
setengah emosi aku bertanya kepada teman-temanya.
“Aku tidak tahu,
kemaren masih bisa kok. Kemaren saja aku telfon dia, mau bilang
ada belajar kelompok, tapi dia tidak datang”.
Tanpa pamitan kepada
teman-teman mereka yang mungkin setulus hati atau malah kebingungan juga dengan
semua pertanyaanku tadi aku langsung berlari ke arah motorku yang sengaja ku
parkir jauh dari mereka. Injak pedal, tarik gas, dan langsung pergi dari tempat
itu sekencang mungkin.
Tujuan utamaku adalah
kosnya. Dalam perjalanan aku kembali berfikir, kenapa aku sampai seperti ini
penasaranya apa karena aku suka atau lebih dari suka. Semua pertanyaan itu aku
simpan sampai aku bertemu denganya nanti.
Setiba di kosnya aku
bingung mau melakukan apa, karena sebelumnya aku tidak pernah datang, masuk,
dan mencari penghuni kos wanita. Sepi, sunyi, dan kotor terlihat seperti tidak
ada penghuni. Aku memberanikan diri mengetuk pintunya.
Tok, tok, tok.
“Assalamualaikum”.
Tok, tok, tok.
“Assalamualaikum”.
Tok, tok, tok.
“Assalamualaikum”.
Jeglek. Pintu
terbuka dan terlihat di depan ku seorang wanita yang berumur sekitar sembilan
belas tahun hanya memakai T-shirt ketat dan shortpants, wajah
kumal, rambut berantakan, dan nafasnya bau alkohol.
“Ada apa mas?” Dia
bertanya kepadaku.
“E.em. ‘Betinanya’nya
ada mbak?” Aku menjawab.
“Oh, sebentar ya saya
panggilkan”.
“Iya mbak”.
Aku menunggu di luar
dan memandangi kos ini sangat berbeda dengan aku kemarin kemari mengantarnya. Semua terlihat lebih
berantakan. Tak lama kemudian dia keluar. Terlihat jelas di depanku wanita yang
hampir sama dengan pertama membukakan pintu tadi. Persis, hanya saja dia
kelihatan lebih berantakan.
“Ada apa? Kenapa
kemari?” Dia bertanya kepadaku
“Aku. Aku. Aku tak
tahu.” Jawabku agak sedikit gugup, konyol tidak mengetahui untuk apa aku
kemari..
“Kalau begitu
pulanglah, aku masih banyak urusan”. Jawabnya, dengan berusaha menutup pintu
kembali.
“Sebentar. Aku hanya
ingin bertanya kepadamu”. Dengan berusaha menghalangi dia menutup pintu.
“Tanya apa?” Jawabnya
dengan menghentikan usahanya.
“Kenapa kamu jadi
seperti ini?” Tanyaku.
“Bukan urusan kamu”.
Jawabnya.
“Ke. Kenapa? Bisakah
kita duduk sebentar diluar sini? Ajakku.
Akhirnya dia memberikan
aku kesempatan untuk bertanya dan bicara denganya. Duduk berdua denganya,
keadaan sunyi, sepi. Aku menceritakan kepadanya tentang semua rasa penasaranku,
sampai aku bertemu dengan teman-temanya dan bertanya mengenai dirinya, aku
menceritakan semua yang terjadi sebelum aku bertemu denganya, duduk berdua
denganya, dan ngobrol denganya. Tapi respon yang dia berikan sangatlah biasa,
seperti hal yang aku lakukan tadi hanya secuil dari semua yang dia pernah
lakukan.
“Kenapa kamu jadi
seperti ini?” Sekali lagi aku bertanya kapadanya.
“Kenapa kamu sampai mau
melakukan semua ini? Apa karena hanya rasa penasaranmu? Tidak mungkin kan?”
Tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu dia malah balik bertanya kepadaku.
Dia seperti tahu apa yang ada dalam diriku sementara aku tak mengetahui hal
itu.
Pembicaraan berhenti
sejenak, pertanyaanya membuat aku mengingat apa yang aku pikirkan tadi sewaktu
dalam perjalanan ke kos ini. Pikiran yang membuat keningku berkerut, jantungku
berdetak kencang tak seperti biasa, aku menjadi salah tingkah, dan semakin
menyiksa bila tak segera dikeluarkan.
“Benar, memang kalau
hanya rasa penasaranku saja tak cukup untuk membawaku kemari. Ini lebih dari
itu. Aku, suka sama kamu. Aku sayang sama kamu”. Keadaan menjadi lebih sepi
ketika aku berkata seperti itu. Hanya suara angin yang menyapu sampah-sampah
yang berserakan disana-sini dan mendorong pintu hingga pintu itu kembali
tertutup.
Aku melihat wajahnya,
dia tampak lebih gelisah dari sebelumnya. Sepertinya aku telah menambah beban
kehidupanya dua kali lipat atau lebih.
“Bodoh, kenapa kamu
suka sama aku?” Tiba-tiba dia menggertak bertanya kepadaku.
“Aku tidak tahu”. Aku
hanya menjawab seperti itu.
“Bodoh sekali, bahkan
kamu tak tahu kenapa suka sama aku. Kamu belum tahu aku kan? Seperti apa
sebenarnya aku ini. Aku tidak seperti yang kamu pikirkan. Kamu akan menyesal
mengetahuinya”.
“Aku tak peduli seperti
apa kamu, sebaik atau seburuk apapun kamu aku tetap sayang sama kamu. Cepat
atau lambat, semua kebaikan ataupun keburukan pasti akan terungkap kan. Entah
apa yang membuat aku sayang sama kamu. Hanya ketika melihatmu dan bersamamu aku
merasa lebih nyaman, walau dengan sikap dinginmu itu”.
Dia hanya diam,
menunduk lesu, mengelus perutnya, dan berkata.
“Aku hamil”.
Kata itu seperti
menusuk jantungku, menghentikan aliran darahku, memotong urat syarafku,
menyesakkan nafasku. Seketika aku diam, sesak terasa, pernafasanku tak selancar
mulanya. Aku berusaha mengembalikan diriku seperti semula. Menetralkan
racun-racun yang tadinya menggerogoti pikiranku. Keadaan ini benar-benar berat.
“Apakah kamu masih suka
dengan perempuan yang kotor seperti aku ini?” Dia melanjutkan bertanya kepadaku
dan aku hanya diam.
“Aku ini perempuan
bodoh, tak tau diri, bejat, aku percaya saja dengan laki-laki pengecut itu. Aku
percaya saja bahwa dia tulus mencintaiku. Aku berikan semua yang kupunya
untuknya. Pertama aku memang menikmati caranya, rayuanya, cintanya,
perhatianya, dia benar-benar tahu apa yang aku butuhkan. Sampai saatnya aku
melepaskan mahkota keperawananku untuknya. Kami sudah berulang kali melakuakan
hubungan ranjang ini, sudah seperti suplemen bagi kami. Jika tidak melakukan
hal itu, hubungan kami terasa hambar. Pagi, malam, siang, ramai, sepi, bersih,
kotor, semua keadaan, waktu, dan tempat bagi kami tak ada masalah. Suplemen ini memang terbukti manjur, tak
terasa hubungan kami berlangsung dua setengah tahun. Aku menikmati, diapun
menikmati. Kami benar-benar larut dalam kenikmatan dunia. Terasa semua masalah
dapat diatasi dengan mudah, mulai dari mantan pacar, krisis ekonomi, masalah kuliah,
masalah orang tua, masalah mimpi dan keinginan. Aku membayangkan hubungan kami
sangatlah kuat, kokoh, tak termakan waktu, keadaan, dan tekanan. Tapi
malam-malam hari sekali saat itu, ada seorang laki-laki tua mengetok pintu
kosku. Dia membawa sebuah amplop besar, tebal, tak cukup berat. Laki-laki tua
itu segera pergi ketika sudah menyerahkan amplop itu kepadaku. Aku
membukanya,amplop itu ternyata berisi uang tunai senilai Rp. 15 juta. Aku
bertanya-tanya tak karuan, siapa? Untuk apa? Kenapa? Ternyata ada sepucuk surat
yang ditulis tangan dan kelihatanya aku mengenal tulisan itu. Aku mulai
membacanya”.
Untuk Sayangku,
Berlian tak seindah dirimu, mawar
tak seharum baumu, mentari tak sehangat pelukanmu, bulan tak secerah matamu,
bukan hanya itu, cuma kamu yang bisa membuatku tersenyum.
Sayangku, terimakasih karna kamu
udah memberikan sesuatu yang sangat berharga untukku, kamu udah membuatku
bersinar diantara gelapnya mendung yang menggumpal, kamu udah membawaku terbang
meniti sang mentari.
Sayangku maafkan aku, karena aku
harus pergi dulu sebelum membuatmu lebih bahagia dari saat ini. Sayangku,
maafkan aku. Aku tak bisa menepati janji, janji yang kita sepakati waktu itu.
Sayangku maafkan aku karena harus meninggalkanmu dengan keadaan seperti ini.
Sayangku, maafkan aku. Allah hanya
memberikan waktu yang begitu singkat untukku, aku tak bisa lagi mencintaimu
seperti yang kita inginkan. Aku tak bisa menikahimu setelah apa yang kita
perbuat selama ini. Sayangku, maafkan aku. Karena baru kali ini aku bicara
kepadamu. Aku tak sanggup bila harus mengatakanya langsung kepadamu. Aku tak
mau melihatmu bersedih. Entah mengapa aku sepengecut ini.
Lima bulan yang lalu, dokter
memvonisku dengan penyakit kanker otak. Diperkirakan aku tak akan bertahan lama
setelah itu. Dokter memberiku obat-obatan yang beraneka ragam jenisnya, katanya
untuk mengobati. Tapi aku tahu, penyakitku ini memang sudah lama, dan lebih
dari lima bulan yang lalu. Dan aku juga tahu, kalau penyakitku ini tak akan
sembuh walau berbagai macam obat di coba. Aku tak membeli obat apa-apa. Uangnya
aku tabung, dan aku berikan ke sayang sekarang ini. Semoga uang itu dapat
berguna bagi sayang. Mohon diterima ya sayang, pergunakan dengan
sebaik-baiknya. Karena aku tak mau berhenti mencintaimu, walaupun aku mati.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat
hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau
aku menyusahkanmu dan semoga Allah memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Aku sayang kamu.
Sayangmu,
Saddam.
“Luluhan air mata yang membanjiri pipiku, isak tangis
yang ku akhiri teriakan keras sampai semua penghuni kos bangun dan menyeru.
Ternyata dia telah mengingkari janji yang dia ucapkan sendiri, dia telah
meninggalkanku selamanya. Kenapa aku benar-benar bodoh. Kenapa aku kekasihnya,
sendiri tak tahu kalau dia sedang sakit. Aku menyesal telah menjadi kekasihnya.
Aku dihukum sendiri di dunia ini atas kesalahan yang kami lakukan. Dia
benar-benar pengecut”. Dia menceritakan semua musibah yang menimpanya sehingga
dia menjadi seperti ini.
Tak sengaja aku meneteskan air mata, sehingga wajahku basah. Dan dia segera
memberikan tisu yang sengaja dia siapkan dari tadi. Mungkin dia sudah tahu,
kalau aku akan menangis bila mendengar ceritanya. Aku memang menangis, dan
masih terisak. Belum sempat aku menghentikan isak tangisku dan bicara, dia
sudah menjejaliku dengan pertanyaan baru.
“Apakah kamu masih sayang sama aku, setelah tahu aku yang sebenarnya?” Dia
bertanya kepadaku.
Aku langsung memeluknya, erat. Aku membisikkan sesuatu ke telinganya.
“Aku bersedia menjadi pengganti Saddam. Aku bersedia, menjadi ayah dari
anak Saddam. Aku bersedia mencintaimu, menyayangimu, walau tahu apa yang telah
terjadi kepadamu. Aku tak permasalahkan hal itu”.
Aku merasakan dia mulai menggerakkan tanganya yang kemudian memelukku. Erat
sekali. Sangat erat. Dia terisak, dan terasa baju, pundakku, dibasahi oleh air
matanya. Dengan isak tangis yang belum berhenti dia berkata.
(Karya
Mohamad Abdil Fatah M.)
Malang, 17 Mei
2012.
0 komentar:
Posting Komentar