Kamis, 21 Februari 2013

Jantan dan Betina


Memang benar kata semua orang, bahwa cinta tak memandang bentuk rupa, cinta tak memandang harta benda, cinta juga tak memandang status agama, dan bahkan kali ini lebih dari itu semua.
Aku bukanlah seorang yang mudah percaya pada orang lain, untuk itu aku jarang menepati janji yang telah ku ucapkan. Bahkan, janji yang ku ucapkan dulu sebelum aku dilahirkan di dunia ini tak ku laksanakan. Aku memang tak taat dalam beribadah. Jika di KTP aku menyandang status islam, maka di realitanya aku dapat dikatakan orang yang tak beragama, sebut saja atheis. Tapi aku bukan PKI. Namun, semua itu ditampik oleh satu kata, rasa, status, masalah, pengorbanan, keinginan, hasrat, dan duniawi yang disebut cinta.
“Betina”. Itu bukan nama sembarangan. Nama itu membuat aku mengerti apa yang harus aku lakukan jika bersamanya, nama itu membuat aku mengerti untuk apa aku dilahirkan di dunia ini, nama itu membuat aku mengeti indahnya kebersamaan, dan sekali lagi nama itu membuatku mengerti kenapa aku dapat melakukan semua ini.
Semua ini berawal dari percakapan ringan di atas onggokan batu yang dicampur baur dengan material lain sehingga menjadi bentuk berbeda dan fungsi berbeda pula.
“Sedang apa disini? Bukankah jam segini kamu sudah pulang dan tidur pulas di kos?” Aku berusaha mendekatinya dengan pertanyaan ringan.
“Tidak, aku masih menunggu seseorang disini”. Dia begitu dingin menjawab pertanyaanku, seakan aku seperti setan yang tak bisa dia lihat.
“Seseorang siapa? Tak mungkin kan ada manusia yang mau lewat jalan ini di tengah malam seperti ini”.
“Memang, tapi aku harus tetap menunggunya”.
“Kenapa? Apa dia punya hutang  sama kamu?”
“Bukan Cuma hutang, tapi janji sampai mati”. Dialog pun terus berlanjut  sampai pada akhirnya dia mau pulang denganku. Memboncengnya yang terus bersikap dingin walau sampai kos.
Bukan kali pertama aku melihatnya, namun kali pertama aku suka kepadanya. Suka memang bukan satu-satunya alasan ku untuk mau mengantarnya pulang dengan sikap dinginya yang terus dipertahankan. Tapi entah mengapa aku seperti terkena magnet yang mengiginkanku untuk terus berada di sampingnya.
Aku masih heran dengan jawabanya mengenai “janji sampai mati”. Apa mungkin dia ingin mati? Tapi entahlah, kapan-kapan bila ketemu lagi aku mau menanyakanya dan memang harus ketemu.
Kali ini aku ingin berbeda dengan pertemuan sebelumnya, aku merencanakanya sendiri. Entah kenapa aku mau melakukan hal ini. Aku mencari informasi mengenai dirinya kepada teman-teman kampusnya. Kata mereka, dulu sebelum bulan Oktober dia anak yang aktif, ceria, keras kepala, penuh semangat, pintar, dan semua sifat sehingga berhasil mendapat pujian dari semua orang. Dalam pikiranku aku mulai membayangkan dia dulu seperti apa dan ternyata ketemu. Aku membayangkan dia dulu layaknya seorang wanita, benar-benar seorang wanita.
Belum cukup mereka bercerita, aku segera mengubah pikiranku dari bangga menjadi sangat penasaran karena mendengar mereka berkata setelah bulan Oktober dia berubah drastis. Dia menjadi sangat pendiam dan hal itu mempengaruhi semua kinerjanya sebagai seorang mahasiswa.
Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia seperti itu? Apa yang salah denganya? Kenapa setelah bulan Oktober? Apa hubunganya dengan janji sampai mati? Semua pertanyaan itu aku lontarkan kepada teman-temanya. Tapi mereka menjawab semua pertanyaanku itu hanya dengan tiga kata.
Kami tidak tahu. Mereka semua menjawab hal yang sama seperti itu.
Tidak panjang lebar bertanya mengenai dirinya, langsung saja aku minta nomor hand phonenya. Disebutkan 0856481331xx. Aku segera mencatat dan langsung saja aku telfon dia.
“Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar servis area, cobalah beberapa saat lagi”. Jawaban mesin operator ini malah membuat aku penasaran sekali. Jika ada alat ukur rasa penasaran, mungkin kali ini rasa penasaranku sudah 89%.
Kenapa nomornya tidak aktif? Dengan setengah emosi aku bertanya kepada teman-temanya.
“Aku tidak tahu, kemaren masih bisa kok. Kemaren saja aku telfon dia, mau bilang ada belajar kelompok, tapi dia tidak datang”.
Tanpa pamitan kepada teman-teman mereka yang mungkin setulus hati atau malah kebingungan juga dengan semua pertanyaanku tadi aku langsung berlari ke arah motorku yang sengaja ku parkir jauh dari mereka. Injak pedal, tarik gas, dan langsung pergi dari tempat itu sekencang mungkin.
Tujuan utamaku adalah kosnya. Dalam perjalanan aku kembali berfikir, kenapa aku sampai seperti ini penasaranya apa karena aku suka atau lebih dari suka. Semua pertanyaan itu aku simpan sampai aku bertemu denganya nanti.
Setiba di kosnya aku bingung mau melakukan apa, karena sebelumnya aku tidak pernah datang, masuk, dan mencari penghuni kos wanita. Sepi, sunyi, dan kotor terlihat seperti tidak ada penghuni. Aku memberanikan diri mengetuk pintunya.
Tok, tok, tok. “Assalamualaikum”.
Tok, tok, tok. “Assalamualaikum”.
Tok, tok, tok. “Assalamualaikum”.
Jeglek. Pintu terbuka dan terlihat di depan ku seorang wanita yang berumur sekitar sembilan belas tahun hanya memakai T-shirt ketat dan shortpants, wajah kumal, rambut berantakan, dan nafasnya bau alkohol.
“Ada apa mas?” Dia bertanya kepadaku.
“E.em. ‘Betinanya’nya ada mbak?” Aku menjawab.
“Oh, sebentar ya saya panggilkan”.
“Iya mbak”.
Aku menunggu di luar dan memandangi kos ini sangat berbeda dengan aku kemarin kemari mengantarnya. Semua terlihat lebih berantakan. Tak lama kemudian dia keluar. Terlihat jelas di depanku wanita yang hampir sama dengan pertama membukakan pintu tadi. Persis, hanya saja dia kelihatan lebih berantakan.
“Ada apa? Kenapa kemari?” Dia bertanya kepadaku
“Aku. Aku. Aku tak tahu.” Jawabku agak sedikit gugup, konyol tidak mengetahui untuk apa aku kemari..
“Kalau begitu pulanglah, aku masih banyak urusan”. Jawabnya, dengan berusaha menutup pintu kembali.
“Sebentar. Aku hanya ingin bertanya kepadamu”. Dengan berusaha menghalangi dia menutup pintu.
“Tanya apa?” Jawabnya dengan menghentikan usahanya.
“Kenapa kamu jadi seperti ini?” Tanyaku.
“Bukan urusan kamu”. Jawabnya.
“Ke. Kenapa? Bisakah kita duduk sebentar diluar sini? Ajakku.
Akhirnya dia memberikan aku kesempatan untuk bertanya dan bicara denganya. Duduk berdua denganya, keadaan sunyi, sepi. Aku menceritakan kepadanya tentang semua rasa penasaranku, sampai aku bertemu dengan teman-temanya dan bertanya mengenai dirinya, aku menceritakan semua yang terjadi sebelum aku bertemu denganya, duduk berdua denganya, dan ngobrol denganya. Tapi respon yang dia berikan sangatlah biasa, seperti hal yang aku lakukan tadi hanya secuil dari semua yang dia pernah lakukan.
“Kenapa kamu jadi seperti ini?” Sekali lagi aku bertanya kapadanya.
“Kenapa kamu sampai mau melakukan semua ini? Apa karena hanya rasa penasaranmu? Tidak mungkin kan?” Tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu dia malah balik bertanya kepadaku. Dia seperti tahu apa yang ada dalam diriku sementara aku tak mengetahui hal itu.
Pembicaraan berhenti sejenak, pertanyaanya membuat aku mengingat apa yang aku pikirkan tadi sewaktu dalam perjalanan ke kos ini. Pikiran yang membuat keningku berkerut, jantungku berdetak kencang tak seperti biasa, aku menjadi salah tingkah, dan semakin menyiksa bila tak segera dikeluarkan.
“Benar, memang kalau hanya rasa penasaranku saja tak cukup untuk membawaku kemari. Ini lebih dari itu. Aku, suka sama kamu. Aku sayang sama kamu”. Keadaan menjadi lebih sepi ketika aku berkata seperti itu. Hanya suara angin yang menyapu sampah-sampah yang berserakan disana-sini dan mendorong pintu hingga pintu itu kembali tertutup.
Aku melihat wajahnya, dia tampak lebih gelisah dari sebelumnya. Sepertinya aku telah menambah beban kehidupanya dua kali lipat atau lebih.
“Bodoh, kenapa kamu suka sama aku?” Tiba-tiba dia menggertak bertanya kepadaku.
“Aku tidak tahu”. Aku hanya menjawab seperti itu.
“Bodoh sekali, bahkan kamu tak tahu kenapa suka sama aku. Kamu belum tahu aku kan? Seperti apa sebenarnya aku ini. Aku tidak seperti yang kamu pikirkan. Kamu akan menyesal mengetahuinya”.
“Aku tak peduli seperti apa kamu, sebaik atau seburuk apapun kamu aku tetap sayang sama kamu. Cepat atau lambat, semua kebaikan ataupun keburukan pasti akan terungkap kan. Entah apa yang membuat aku sayang sama kamu. Hanya ketika melihatmu dan bersamamu aku merasa lebih nyaman, walau dengan sikap dinginmu itu”.
Dia hanya diam, menunduk lesu, mengelus perutnya, dan berkata.
“Aku hamil”.
Kata itu seperti menusuk jantungku, menghentikan aliran darahku, memotong urat syarafku, menyesakkan nafasku. Seketika aku diam, sesak terasa, pernafasanku tak selancar mulanya. Aku berusaha mengembalikan diriku seperti semula. Menetralkan racun-racun yang tadinya menggerogoti pikiranku. Keadaan ini benar-benar berat.
“Apakah kamu masih suka dengan perempuan yang kotor seperti aku ini?” Dia melanjutkan bertanya kepadaku dan aku hanya diam.
“Aku ini perempuan bodoh, tak tau diri, bejat, aku percaya saja dengan laki-laki pengecut itu. Aku percaya saja bahwa dia tulus mencintaiku. Aku berikan semua yang kupunya untuknya. Pertama aku memang menikmati caranya, rayuanya, cintanya, perhatianya, dia benar-benar tahu apa yang aku butuhkan. Sampai saatnya aku melepaskan mahkota keperawananku untuknya. Kami sudah berulang kali melakuakan hubungan ranjang ini, sudah seperti suplemen bagi kami. Jika tidak melakukan hal itu, hubungan kami terasa hambar. Pagi, malam, siang, ramai, sepi, bersih, kotor, semua keadaan, waktu, dan tempat bagi kami tak ada masalah.  Suplemen ini memang terbukti manjur, tak terasa hubungan kami berlangsung dua setengah tahun. Aku menikmati, diapun menikmati. Kami benar-benar larut dalam kenikmatan dunia. Terasa semua masalah dapat diatasi dengan mudah, mulai dari mantan pacar, krisis ekonomi, masalah kuliah, masalah orang tua, masalah mimpi dan keinginan. Aku membayangkan hubungan kami sangatlah kuat, kokoh, tak termakan waktu, keadaan, dan tekanan. Tapi malam-malam hari sekali saat itu, ada seorang laki-laki tua mengetok pintu kosku. Dia membawa sebuah amplop besar, tebal, tak cukup berat. Laki-laki tua itu segera pergi ketika sudah menyerahkan amplop itu kepadaku. Aku membukanya,amplop itu ternyata berisi uang tunai senilai Rp. 15 juta. Aku bertanya-tanya tak karuan, siapa? Untuk apa? Kenapa? Ternyata ada sepucuk surat yang ditulis tangan dan kelihatanya aku mengenal tulisan itu. Aku mulai membacanya.
Untuk Sayangku,
            Berlian tak seindah dirimu, mawar tak seharum baumu, mentari tak sehangat pelukanmu, bulan tak secerah matamu, bukan hanya itu, cuma kamu yang bisa membuatku tersenyum.
            Sayangku, terimakasih karna kamu udah memberikan sesuatu yang sangat berharga untukku, kamu udah membuatku bersinar diantara gelapnya mendung yang menggumpal, kamu udah membawaku terbang meniti sang mentari.
            Sayangku maafkan aku, karena aku harus pergi dulu sebelum membuatmu lebih bahagia dari saat ini. Sayangku, maafkan aku. Aku tak bisa menepati janji, janji yang kita sepakati waktu itu. Sayangku maafkan aku karena harus meninggalkanmu dengan keadaan seperti ini.
            Sayangku, maafkan aku. Allah hanya memberikan waktu yang begitu singkat untukku, aku tak bisa lagi mencintaimu seperti yang kita inginkan. Aku tak bisa menikahimu setelah apa yang kita perbuat selama ini. Sayangku, maafkan aku. Karena baru kali ini aku bicara kepadamu. Aku tak sanggup bila harus mengatakanya langsung kepadamu. Aku tak mau melihatmu bersedih. Entah mengapa aku sepengecut ini.
            Lima bulan yang lalu, dokter memvonisku dengan penyakit kanker otak. Diperkirakan aku tak akan bertahan lama setelah itu. Dokter memberiku obat-obatan yang beraneka ragam jenisnya, katanya untuk mengobati. Tapi aku tahu, penyakitku ini memang sudah lama, dan lebih dari lima bulan yang lalu. Dan aku juga tahu, kalau penyakitku ini tak akan sembuh walau berbagai macam obat di coba. Aku tak membeli obat apa-apa. Uangnya aku tabung, dan aku berikan ke sayang sekarang ini. Semoga uang itu dapat berguna bagi sayang. Mohon diterima ya sayang, pergunakan dengan sebaik-baiknya. Karena aku tak mau berhenti mencintaimu, walaupun aku mati.
            Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Allah memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
            Aku sayang kamu.
                                                                                    Sayangmu,
                                                                                    Saddam.
Luluhan air mata yang membanjiri pipiku, isak tangis yang ku akhiri teriakan keras sampai semua penghuni kos bangun dan menyeru. Ternyata dia telah mengingkari janji yang dia ucapkan sendiri, dia telah meninggalkanku selamanya. Kenapa aku benar-benar bodoh. Kenapa aku kekasihnya, sendiri tak tahu kalau dia sedang sakit. Aku menyesal telah menjadi kekasihnya. Aku dihukum sendiri di dunia ini atas kesalahan yang kami lakukan. Dia benar-benar pengecut”. Dia menceritakan semua musibah yang menimpanya sehingga dia menjadi seperti ini.
Tak sengaja aku meneteskan air mata, sehingga wajahku basah. Dan dia segera memberikan tisu yang sengaja dia siapkan dari tadi. Mungkin dia sudah tahu, kalau aku akan menangis bila mendengar ceritanya. Aku memang menangis, dan masih terisak. Belum sempat aku menghentikan isak tangisku dan bicara, dia sudah menjejaliku dengan pertanyaan baru.
“Apakah kamu masih sayang sama aku, setelah tahu aku yang sebenarnya?” Dia bertanya kepadaku.
Aku langsung memeluknya, erat. Aku membisikkan sesuatu ke telinganya.
“Aku bersedia menjadi pengganti Saddam. Aku bersedia, menjadi ayah dari anak Saddam. Aku bersedia mencintaimu, menyayangimu, walau tahu apa yang telah terjadi kepadamu. Aku tak permasalahkan hal itu”.
Aku merasakan dia mulai menggerakkan tanganya yang kemudian memelukku. Erat sekali. Sangat erat. Dia terisak, dan terasa baju, pundakku, dibasahi oleh air matanya. Dengan isak tangis yang belum berhenti dia berkata.
“Terima kasih”. Terlihat senyuman kecil diwajahnya yang kembali menunjukkan semangat baru.

(Karya Mohamad Abdil Fatah M.)                                                                        
Malang, 17 Mei 2012.

ads

Ditulis Oleh : Unknown Hari: Kamis, Februari 21, 2013 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar