Sekarang pertanyaanya adalah,
sebenarnya untuk apa perubahan dan evaluasi kurikulum yang sudah sejak 2006
menjadi tolak ukur pendidikan di Indonesia? Jika dikatakan sebelumnya dari
masyarakat yang mendesak kementerian pendidikan untuk mengubah kurikulum yang
disebabkan menjamurnya korupsi dan merebahnya tawuran antar pelajar. Dalam hal
ini masyarakat menilai kurikulumlah yang seharusnya bertanggungjawab, padahal
bukan hanya kurikulum, tapi semua kalangan dan lembaga pendidikan harus ikut
bertanggungjawab akan hal ini. Masyarakat menyayangkan kinerja kurikulum yang
kurang bisa mengontrol diri para pelajar, sehingga mereka hanya dicetak untuk
menjadi pemberontak dan mafia hukum. Apakah benar ini murni tugas dari
kurikulum? Menurut saya, masyarakat sudah salah
kaprah menafsirkan hal ini dan kementerianpun sudah terlalu goblok dalam menyikapi hal ini. Padahal
dari kurikulum sekarang inilah anak bangsa mampu bersikap kritis dan mau
mengkritisi segala macam penyelewengan dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Mampu menyampaiakn aspirasi mereka dan bersosial tinggi. Jika kurikulum dirubah
dengan yang hanya mengutamakan karakter, apakah pemerintah mau menjamin jika
nantinya para anak bangsa berani menyampaikan aspirasi mereka, berani
meluruskan yang bengkok, berani memukul yang salah, dan berani menendang yang kurang ajar (dalam hal ini para petinggi
negara). Atau sebaliknya, pemerintah menginginkan hal itu untuk mengamankan kedok
dari para anak bangsa, dari para masyarakat, dari jeratan hukum? Karena tidak
dapat dipungkiri, anak bangsa sudah sangat berkontribusi dalam hal itu namun
mereka yang sudah “gila” akan jabatan
menutupinya dari mata masyarakat.
Selain itu jika memang mereka
benar-benar meninjau kefektifan kurikulum dari terjadinya tawuran antar pelajar
yang terjadi akhir-akhir ini, apakah dengan perubahan kurikulum yang
mengutamakan pendidikan karakter menjadi solusi satu-satunya untuk
menindaklanjuti hal tersebut? Memangnya semua siswakah yang melakukan tawuran?
Diantara jutaan siswa di Indonesia, hanya segelintir siswalah yang melakukan
tawuran dan bodohnya itu adalah
sekolah elit yang ada di Jakarta. Cukup hanya dari segelintir tersebut sudah
membuktikan bahwa pendidikan Indonesia sangat rapuh dan kurikulumlah yang
menjadi “kambing hitam”, dan repotnya
lagi seluruh siswa dari semua jenjang pendidikan terkena imbasnya.
Memangnya sudah berapa kali Indonesia ganti kurikulum? Dari sekian banyak
pergantian kurikulum, dan dalam waktu yang singkat, apakah ini malah tidak akan
membuat kementerian dirasa masih bingung untuk membawa pendidikan Indonesia?
Masyarakat Indonesia memang belum menyadari akan hal itu, tapi masyarakat luar
negeri akan sangat cepat menyadari dan hal itu akan berimbas pada pendidikan
Indonesia itu sendiri. Akibatnya bangsa luar akan meremehkan sistem pendidikan
di Indonesia yang terkesan masih amburadul.
Sebenarnya untuk menumbuhkan
karakter bangsa yang baik, harus dimulai sejak dini. Dari konsep Tri Pusat
Pendidikan, lingkup keluargalah yang paling dominan dalam hal ini. Lingkungan
dan sekolah akan mengikuti. Penggemblengan karakter dalam keluarga sangatlah
penting, seharusnya pemerintah mengetahui hal itu dan dapat mengupayakan untuk
mencari pemecahan masalah yang timbul dalam pemusatan karakter di dalam
keluarga.
Berikutnya dilanjutkan dengan linkungan sebagai
faktor penting kedua setelah keluarga. Lingkungan menjadi pendidikan bebas bagi
anak. Maksud dari bebas disini, lingkungan memiliki pendidikan baik dan buruk
dan tidak ada tuntutan seorang anak harus menancapkan hal itu dalam kehidupan
dan perilakunya. Disini peran keluarga sangat dominan, untuk mengarahkan anak
mengambil ilmu dan pengalaman yang baik dan membuang yang buruk.
Faktor terakhir adalah sekolah, dimana tidak begitu
dominan jika dibanding kedua faktor diatas. Mengapa tidak begitu dominan?
Sebab, fungsi utama dari sekolah sendiri adalah untuk memberikan pendidikan
akademik dan keterampilan bagi siswa, selain itu hanyalah sampingan. Jika
memang sekolah dituntut memberikan pendidikan karakter yang mulai dari pendidikan
agama dan pendidikan kewarganegaraan, maka sebenarnya jumlah kuantitasnya lebih
banyak pendidikan yang memfokuskan ilmunya ke akademik dan keterampilan
daripada pendidikan yang memfokuskan ilmunya ke karakter. Jika sekolah dituntut
untuk memberikan 50% waktunya untuk pendidikan karakter, lalu bagaimanakah
peran dari kedua faktor kedua diatas yang jelas-jelas lebih dominan jika
dibanding faktor terakhir yaitu sekolah?
Bercermin dari argumen diatas dan kasus yang timbul
dalam pendidikan di Indonesia, sebenarnya sistem pendidikan di Indonesia ini
sudah baik, sudah berdasarkan karakter bangsa, karena pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang disesuaikan dengan karakter bangsa itu sendiri. Lain
halnya dengan perkembangan zaman yang semakin maju, memang sebuah sistem harus
mengikuti perkembangan zaman sehingga dapat dikatakan sesuai. Namun, jika
dikatakan kurikulum saat ini yaitu KTSP yang berkonsep memandirikan siswa,
menjadikan siswa kritis, dan mempunyai prinsip sudah tidak sesuai dengan
perkembangan pendidikan di Indonesia, itu adalah sebuah kesalahan.
Jika memang pemerintah ingin memajukan pendidikan di
Indonesia, janganlah membenahi sitemnya tetapi benahilah pelaksanaanya. Banyak
orang-orang besar yang seharusnya dapat dijadikan contoh pada siswa untuk
memajukan bangsa ini, namun sebaliknya mereka justru memberikan contoh yang
tidak sepatutnya ditiru. Jika pelaksana pendidikan di Indonesia bermoral busuk,
bagaimana dengan siswa yang diberikan pendidikan? Pendidik (dalam hal ini guru)
bukanlah satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas siswanya, namun masih
ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi siswa dan bahkan pengaruh yang
ditimbulkanya lebih besar dari seorang guru tersebut.
Mohon
untuk dibaca serta dimaknai, dan saya sangat berterimaksih jika pembaca
bersedia menyampaikan argumen ini kepada kementerian pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar