Selasa, 26 Februari 2013

Pendidikan Indonesia Tidak Membutuhkan Perubahan Kurikulum


            Kabar yang beredar tentang perencanaan perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia pada tahun 2013 memang sudah terbukti kebenaranya. Beberapa media masa telah memuat tentang hal itu yang mempunyai maksud untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat atas tuntutan mereka mengenai pendidikan di Indonesia. Memang latar belakang dari perencanaan perubahan tersebut berasal dari masyarakat yang mendesak kementerian pendidikan untuk melakukan perombakan kembali mengenai kurikulum yang berlaku dalam pendidikan Indonesia saat ini. Desakan tersebut diperparah dengan adanya korupsi yang sudah menjamur di Indonesia dan kejadian tawuran antar pelajar yang dilakukan pada akhir-akhir ini membuat masyarakat menunjuk kurikulum pendidikan harusnya dibenahi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga membenarkan sekaligus menyetujui hal itu, dengan alasan bahwa memang kurikulum tersebut belum sempurna, dan sudah waktunya untuk dievaluasi yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. Evaluasi tersebut dilakukan secara menyeluruh yang sedikitnya mempertimbangkan empat standar pendidikan di dalamnya, yaitu standar isi, kompetensi lulusan, proses, dan standar evaluasi.
            Sekarang pertanyaanya adalah, sebenarnya untuk apa perubahan dan evaluasi kurikulum yang sudah sejak 2006 menjadi tolak ukur pendidikan di Indonesia? Jika dikatakan sebelumnya dari masyarakat yang mendesak kementerian pendidikan untuk mengubah kurikulum yang disebabkan menjamurnya korupsi dan merebahnya tawuran antar pelajar. Dalam hal ini masyarakat menilai kurikulumlah yang seharusnya bertanggungjawab, padahal bukan hanya kurikulum, tapi semua kalangan dan lembaga pendidikan harus ikut bertanggungjawab akan hal ini. Masyarakat menyayangkan kinerja kurikulum yang kurang bisa mengontrol diri para pelajar, sehingga mereka hanya dicetak untuk menjadi pemberontak dan mafia hukum. Apakah benar ini murni tugas dari kurikulum? Menurut saya, masyarakat sudah salah kaprah menafsirkan hal ini dan kementerianpun sudah terlalu goblok dalam menyikapi hal ini. Padahal dari kurikulum sekarang inilah anak bangsa mampu bersikap kritis dan mau mengkritisi segala macam penyelewengan dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Mampu menyampaiakn aspirasi mereka dan bersosial tinggi. Jika kurikulum dirubah dengan yang hanya mengutamakan karakter, apakah pemerintah mau menjamin jika nantinya para anak bangsa berani menyampaikan aspirasi mereka, berani meluruskan yang bengkok, berani memukul yang salah, dan berani menendang yang kurang ajar (dalam hal ini para petinggi negara). Atau sebaliknya, pemerintah menginginkan hal itu untuk mengamankan kedok dari para anak bangsa, dari para masyarakat, dari jeratan hukum? Karena tidak dapat dipungkiri, anak bangsa sudah sangat berkontribusi dalam hal itu namun mereka yang sudah “gila” akan jabatan menutupinya dari mata masyarakat.
            Selain itu jika memang mereka benar-benar meninjau kefektifan kurikulum dari terjadinya tawuran antar pelajar yang terjadi akhir-akhir ini, apakah dengan perubahan kurikulum yang mengutamakan pendidikan karakter menjadi solusi satu-satunya untuk menindaklanjuti hal tersebut? Memangnya semua siswakah yang melakukan tawuran? Diantara jutaan siswa di Indonesia, hanya segelintir siswalah yang melakukan tawuran dan bodohnya itu adalah sekolah elit yang ada di Jakarta. Cukup hanya dari segelintir tersebut sudah membuktikan bahwa pendidikan Indonesia sangat rapuh dan kurikulumlah yang menjadi “kambing hitam”, dan repotnya lagi seluruh siswa dari semua jenjang pendidikan terkena imbasnya. Memangnya sudah berapa kali Indonesia ganti kurikulum? Dari sekian banyak pergantian kurikulum, dan dalam waktu yang singkat, apakah ini malah tidak akan membuat kementerian dirasa masih bingung untuk membawa pendidikan Indonesia? Masyarakat Indonesia memang belum menyadari akan hal itu, tapi masyarakat luar negeri akan sangat cepat menyadari dan hal itu akan berimbas pada pendidikan Indonesia itu sendiri. Akibatnya bangsa luar akan meremehkan sistem pendidikan di Indonesia yang terkesan masih amburadul.
            Sebenarnya untuk menumbuhkan karakter bangsa yang baik, harus dimulai sejak dini. Dari konsep Tri Pusat Pendidikan, lingkup keluargalah yang paling dominan dalam hal ini. Lingkungan dan sekolah akan mengikuti. Penggemblengan karakter dalam keluarga sangatlah penting, seharusnya pemerintah mengetahui hal itu dan dapat mengupayakan untuk mencari pemecahan masalah yang timbul dalam pemusatan karakter di dalam keluarga.
Berikutnya dilanjutkan dengan linkungan sebagai faktor penting kedua setelah keluarga. Lingkungan menjadi pendidikan bebas bagi anak. Maksud dari bebas disini, lingkungan memiliki pendidikan baik dan buruk dan tidak ada tuntutan seorang anak harus menancapkan hal itu dalam kehidupan dan perilakunya. Disini peran keluarga sangat dominan, untuk mengarahkan anak mengambil ilmu dan pengalaman yang baik dan membuang yang buruk.
Faktor terakhir adalah sekolah, dimana tidak begitu dominan jika dibanding kedua faktor diatas. Mengapa tidak begitu dominan? Sebab, fungsi utama dari sekolah sendiri adalah untuk memberikan pendidikan akademik dan keterampilan bagi siswa, selain itu hanyalah sampingan. Jika memang sekolah dituntut memberikan pendidikan karakter yang mulai dari pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, maka sebenarnya jumlah kuantitasnya lebih banyak pendidikan yang memfokuskan ilmunya ke akademik dan keterampilan daripada pendidikan yang memfokuskan ilmunya ke karakter. Jika sekolah dituntut untuk memberikan 50% waktunya untuk pendidikan karakter, lalu bagaimanakah peran dari kedua faktor kedua diatas yang jelas-jelas lebih dominan jika dibanding faktor terakhir yaitu sekolah?
Bercermin dari argumen diatas dan kasus yang timbul dalam pendidikan di Indonesia, sebenarnya sistem pendidikan di Indonesia ini sudah baik, sudah berdasarkan karakter bangsa, karena pendidikan yang baik adalah pendidikan yang disesuaikan dengan karakter bangsa itu sendiri. Lain halnya dengan perkembangan zaman yang semakin maju, memang sebuah sistem harus mengikuti perkembangan zaman sehingga dapat dikatakan sesuai. Namun, jika dikatakan kurikulum saat ini yaitu KTSP yang berkonsep memandirikan siswa, menjadikan siswa kritis, dan mempunyai prinsip sudah tidak sesuai dengan perkembangan pendidikan di Indonesia, itu adalah sebuah kesalahan.
Jika memang pemerintah ingin memajukan pendidikan di Indonesia, janganlah membenahi sitemnya tetapi benahilah pelaksanaanya. Banyak orang-orang besar yang seharusnya dapat dijadikan contoh pada siswa untuk memajukan bangsa ini, namun sebaliknya mereka justru memberikan contoh yang tidak sepatutnya ditiru. Jika pelaksana pendidikan di Indonesia bermoral busuk, bagaimana dengan siswa yang diberikan pendidikan? Pendidik (dalam hal ini guru) bukanlah satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas siswanya, namun masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi siswa dan bahkan pengaruh yang ditimbulkanya lebih besar dari seorang guru tersebut.


Mohon untuk dibaca serta dimaknai, dan saya sangat berterimaksih jika pembaca bersedia menyampaikan argumen ini kepada kementerian pendidikan.

ads

Ditulis Oleh : Unknown Hari: Selasa, Februari 26, 2013 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar